Foto: Ketua DPD ASPPI Aceh, Azwani Awi
Banda Aceh — Dewan Pengurus Daerah (DPD) Asosiasi Pelaku Pariwisata Indonesia (ASPPI) Aceh mendesak Pemerintah Kabupaten/Kota di Aceh untuk sementara agar tidak memungut pajak daerah cafe, restoran, warung kopi, rumah makan, hotel, gedung pertemuan, wahana rekreasi, tempat hiburan lainnya, selama masa darurat pencegahan wabah virus Corona atau COVID-19 di Indonesia, sejak Maret 2020-Juni 2020, atau hingga batas waktu sesuai dengan kebijakan pemerintah.
Selain itu, DPD ASPPI Aceh juga mendesak PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di seluruh Kabupaten/Kota di Aceh untuk meringankan beban listrik dan beban air cafe, restoran, warung kopi, rumah makan, hotel, gedung pertemuan,
wahana rekreasi, tempat hiburan lainnya, selama masa darurat penanganan COVID-19 tersebut.
Permintaan itu disampaikan Ketua DPD ASPPI Aceh, Azwani Awi, terkait kebijakan penutupan tempat keramaian termasuk usaha pariwisatw yang diberlakukan oleh Pemerintah Aceh dan Pemko Banda Aceh, terkait pencegahan wabah virus Covid-19.
“Untuk saat ini, kami berharap Pemerintah Kabupaten/Kota tidak memungut pajak daerah cafe, restoran, warung kopi, rumah makan, hotel, gedung pertemuan, wahana rekreasi, tempat hiburan lainnya,” ujar Azwani Awi, dalam keterangannya di Banda Aceh, Senin (23/3).
Pria yang akrab disapa Popon ini menyebutkan, penyebaran Corona Virus Desease 2019 (COVID – 19) kini mulai mewabah di sebagian besar daerah di Indonesia. Karena itu, perlu mendapat penanganan serius agar virus itu tidak meresahkan di kalangan masyarakat.
Untuk mengantisipasi meluasnya pengaruh COVID – 19, pemerintah melakukan pembatasan ruang gerak (social distancing) di fasilitas umum agar wabah ini tidak menjadi pendemi di Aceh. Pembatasan dimaksud meliputi tempat keramaian berupa pantai atau destinasi wisata alam, warung kopi, karaoke, wahana permainan dan tempat hiburan lainnya.
Popon menambahkan, tentunya, beragam informasi yang beredar tentang wabah Covid-19 ini telah secara langsung melemahkan pariwisata di Indonesia. Konon lagi, pembatasan ini diterapkan sejak Maret 2020 – Mei 2020, atau hingga batas waktu sesuai dengan kebijakan pemerintah.
“Lamanya waktu yang diterapkan selama masa darurat COVID-19 ini berdampak serius pada dunia
pariwisata sekaligus mengkhawatirkan pelaku pariwisata menjalankan usaha,” terangnya.
Meski begitu, pelaku pariwisata di Aceh yang merupakan pekerja tour and travel, biro perjalanan wisata, perhotelan atau gedung pertemuan, kuliner seperti restoran, cafe, warung kopi, wahana permainan, tempat rekreasi dan hiburan, Event Organizer, wedding organizer, siap menjalankan regulasi yang dikeluarkan Pemerintah Aceh terkait COVID-19.
“Karena pada prinsipnya, kami menyadari dan harus melakukan tindakan yang bukan hanya untuk kesehatan pribadi, tapi juga terutama untuk kesehatan dan keselamatan orang banyak,” sebutnya.
Pihaknya juga meyakini, langkah self isolation dan kebijakan work from home (WFH) yang dilakukan pemerintah, merupakan langkah efektif yang harus diambil sebelum lockdown karena faktanya langkah ini sudah terbukti efektif di negara lain, mampu memutus mata rantai peredaran COVID-19.
“Karenanya, mengenai usaha kami yang mati suri, kami menerapkan prinsip, usaha boleh berduka, tapi manusia tak boleh mati,” pungkasnya. (HS)



