Oleh: Ustadz Dr. H. Mizaj Iskandar Usman, Lc LLM
Dalam ayat ketujuh Surat al-Fātiḥah Allah memberikan definisi jalan lurus (ṣirāṭal mustaqīm) yang telah disebut pada ayat sebelumnya. Dalam ayat ini, Allah memberikan pengertian bahwa jalan lurus adalah jalan mereka yang diberikan nikmat oleh Allah (ṣirāt al-ladzīna an‘amta ‘alaihim).
Jadi jalan lurus di sini bukannya “jalan Allah” seperti yang terfirmankan dalam Surat al-An‘ām ayat 153 “wa anna hadzā ṣirāṭī mustaqīmān fāttabi‘ūhu” (dan ini jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia).
Sultan Ulama, ‘Izzuddīn bin ‘Abd al-Salām dalam kitabnya Syajaratul Ma‘ārif menerangkan mengapa manusia tidak bisa sepenuhnya mengikuti “jalan Allah”.
Menurutnya, dalam diri Allah (baca: zat Allah) terdapat dua kategori sifat. Pertama, sifat yang secara khusus hanya dimiliki Allah (mukhtaṣṣun bihi) dan tidak mungkin dimiliki oleh manusia, seperti sifat qidām (tak berawal), baqā’ (tak berakhir) dan independen (qiyāmuhu bil nafsihi).
Kedua, sifat yang memungkinkan bagi manusia bersifat sebagaimana sifatnya Allah. Sifat kedua ini terbagi lagi ke dalam dua jenis. (1) sifat yang bisa ditiru, tapi dilarang untuk ditiru, seperti sifat keagungan (‘uẓẓmah) dan keangkuhan (kibriyā’). (2) sifat yang mungkin ditiru dan diperintah untuk ditiru, seperti sifat dermawan (al-juwd), pemaaf (al-ghafūr) dan bijaksana (al-ḥalīm).
Jadi, jika jalan lurus yang dimaksudkan adalah “jalan Allah” banyak manusia yang akan mengalami kesulitan, karena tidak semua sifat Allah bisa atau boleh dicontoh oleh manusia. Oleh karena itu, Allah mengutus nabi dari kalangan manusia sendiri supaya dapat dijadikan model yang mudah diikuti.
Dalam Surat al-Furqān ayat 7, Allah menceritakan cemoohan orang kafir terhadap kenabian Muhammad, “wa qālū māli hadzā al-rasūl ya’kulu al-ṭa‘āma wa yamsyī fī al-aswāq, law lā unzila ilaihi malakun fayakūna ma‘ahu nadzīrā” (Mereka berkata, “Rasul macam apa ini, kerjaannya hanya makan makanan dan berjalan-jalan di pasar, mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat, agar malaikat itu memberikan peringatan bersama dia).
Cemoohan orang kafir ini dijawab Allah dalam Surat al-Isrā’ ayat 5, “qul law kāna fī al-arḍhi malā’ikatun yamsyūna muṭma’innīna lanazzalnā ‘alaihim min al-samā’ malakān rasūlān” (Katakanlah: “kalau seandainya ada malaikat-malaikat yang berjalan-jalan sebagai penghuni bumi, niscaya Kami turunkan dari langit kepada mereka seorang malaikat menjadi rasul).
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa telah menjadi kebiasaan Allah (sunnatullāh) untuk menjadikan panutan, model dan teladan berasal dari jenis makhluk tersebut. Maka demikian, menjadi berlebihan bagi Allah (taklīf mā lā yuṭaq) jika memerintahkan manusia mengikuti “jalannya Allah” yang jangan untuk diikuti, membayangkan bagaimana bentuknya saja manusia tidak mampu.
Dalam konteks ini kemudian Allah memberikan tuntunan kongkrit kepada manusia bahwa jalan lurus yang Ia maksudkan itu adalah “jalan mereka” yang telah Allah curahkan nikmat, anugerah dan karunia.
Menurut Tgk. Abdurrahman atau yang lebih dikenal dengan Tgk. Chik Di Lampaloh dalam kitab tafsirnya Tafsir al-Qur’ān bil Ḥadīts al-Nabawī yang dimaksud dengan “orang-orang yang telah diberikan nikmat” (an‘amta ‘alaihim) adalah para nabi, siddiqin, para syuhada dan orang-orang saleh.
Tafsiran seperti ini diperkuat oleh firman Allah dalam surat Al-Nisā’ ayat 69, “wa man yuṭi‘i al-allāha wa al-rasūla fa ulā’ika ma‘a al-ladzīna an‘ama al-allāhu ‘alaihim minna al-nabīīna wa al-ṣiddīqīna wa al-syuhadā’i wa al-ṣāliḥīna wa ḥasuna ulā’ika rafīqā” (Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, siddiqin, para syuhada dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman sebaik-baiknya).
Jika tafsiran di atas diterima, menjadi sangat memungkin bagi kebanyakan orang (baca: awam) untuk meneladani manusia teladan seperti para nabi, siddiqin, para syuhada dan orang-orang saleh. Manusia-manusia teladan itu masih melakukan aktivitas sehari-hari yang dilakukan oleh kebanyakan orang, seperti makan, minum, tidur, beribadah, menikah dan seterusnya.
Sehingga manusia awam menemukan model makan, minum, tidur, beribadah dan menikah dari mereka. Semua itu merupakan hal yang sulit terjadi pada “jalannya Allah”.
Berangkat dari penjelasan ini, tokoh sufi falsafi terkenal, Ibn ‘Arabī menjelaskan dalam kitabnya al-Futuḥāt al-Makkiyyah bahwa meninggalkan istiqamah terkadang juga suatu keharusan dalam istiqamah. Pasalnya, dalam istiqamah juga ada bengkoknya. Tanpa kemungkinan bengkok sama sekali tidak ada makna istiqamah.
Misalnya konflik rumah tangga merupakan salah satu bentuk penyimpangan dari istiqamah dalam berumah tangga. Tapi, tanpa terjadinya konflik rumah tangga dalam kehidupan nabi dengan para istrinya, manusia tidak memiliki panduan dalam mengelola konflik rumah tangga.
Sehingga manusia sekaliber Nabi Muhammad pun pernah merasakan konflik rumah tangga. Salah satunya peristiwa ḥadīts al-ifk (berita fitnah) yang diabadikan dalam Surat al-Nūr.
*Penulis Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry



