Di masa awal Islam, Nabi Muhammad memperkenalkan apa yang disebut ardhul su’u (negeri nista). Dalam hadits Abu Dawud misalnya tersebut nama empat ardhul su’u, yaitu Ushayya, Dzakwan, Ri‘lan dan Bir Ma‘unnah.
Dalam hadits tersebut juga diterangkan kenapa sebuah wilayah disebut ardhul su’u. Misalnya Bir Ma‘unnah, pada fase awal dakwah Nabi di Mekkah, beliau kedatangan kepala suku Bir Ma‘unnah yang menyatakan keislaman mereka.
Mendengar hal ini, Nabi sangat gembira. Sehingga saat kepala suku tersebut meminta Nabi untuk mengirim beberapa sahabat ke daerah mereka untuk mengajarkan Islam, tanpa berpikir panjang Nabi langsung mengiyakan permintaan itu dan mengirim tujuh puluh sahabat terbaik ke Bir Ma‘unnah.
Keesokan harinya saat Nabi sedang menunaikan Shalat Subuh, tiba-tiba Jibril mendatangi Nabi dan menginformasikan jika tujuhpuluh sahabat yang diutus kemarin ke Bir Ma‘unnah telah dibantai semuanya.
Mengetahui itu, Nabi sangat marah. Saat bangkit dari rukuk (dalam posisi i‘tidal) Nabi mengangkat kedua tangannya seraya berdoa “Allahumma ‘adzibhum, Allahum la‘inhum” (Ya Allah Azab mereka, ya Allah Laknat mereka). Doa ini dibaca Nabi selama sebulan sampai turun Surat Ali ‘Imran ayat 128 yang menegur sikap Nabi.
Sejak itu, Nabi mengganti redaksi doanya dengan doa qunut seperti yang sering kita dengar pada rakaat kedua shalat Subuh.
Tidak dalam hadits saja, Al-Qur’an juga menyebut Babilonia (Iraq sekarang) sebagai ardhul su’u karena maraknya praktik sihir di daerah itu.
Dalam Surat Al-Baqarah ayat 102, Allah berfirman, “Yu‘allimu an-nasa al-sihr wa ma unzila ‘ala al-malakaini bibabila haruta wa marut” (Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut).
Nabi sempat punya pemikiran jika Islam di daerah-daerah tersebut tidak prospek untuk dikembangkan. Bahkan di kemudian hari, Nabi juga mengkategorikan Mekkah sebagai wilayah yang tidak porspek untuk mengembangkan Islam. Sehingga Nabi memutuskan hijrah dari Mekkah menuju Madinah.
Tetapi setelah peristiwa fathul Mekkah (pembebasan kota Mekkah) pada tahun 8 Hijriah. Nabi mengubah pandangannya itu dengan berkata “la hijrata ba‘da al-fath, wa innama jihadun wa niyatun” (tidak ada lagi hijrah dalam arti berpindah tempat setelah fathul mekkah, yang tersisa hanya jihad dan niat).
Jihad yang dimaksudkan dalam hadits ini bukan kofrontrasi fisik, tetapi perjuangan sepenuh raga untuk menyebarkan Islam.
Sedangkan perjuangan sepenuh jiwa dalam menyebarkan Islam terekspresikan pada kata “niat” dalam hadits itu. Jadi makna, “wa innama jihadun wa niyatun” adalah berjuang untuk menegakkan agama Allah dengan sepenuh jiwa dan raga.
Hijrah dalam makna ini diperankan dengan sangat baik oleh para sahabat. Sepeninggal Nabi, banyak sahabat yang memutuskan pindah ke Syam seperti Bilal bin Rabbah, ke Mesir seperti Abu Darda’ dan ke Kuffah seperti Ali bin Abi Thalib. Saat mereka hijrah, tidak ada lagi dalam pikiran mereka tentang ardhul su’u.
Padahal sebelumnya Kuffah yang terletak dalam wilayah Babilonia (Iraq sekarang) dikategorikan segabai ardhul su’u. Yang menjadi motivasi mereka berhijrah saat itu adalah untuk menyebarkan Islam dengan sepenuh jiwa dan raga.
Ternyata hijrah dalam “makna baru” ini membawa perubahan yang cukup signifikan. Seperti, pertama, menyebarnya ajaran Islam ke wilayah yang sebelumnya memusuhi Islam.
Kedua, berpindahnya pusat peradaban Islam dari wilayah turunya wahyu (Mekkah dan Madinah) ke wilayah pinggiran yang dulunya dianggap tidak prospek sebagai wilayah pengembangan Islam. Sejak itu Kuffah menjadi wilayah sentral Islam.
Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad bin Hanbal, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan masih banyak lagi ilmuan Islam lahir di Kuffah. Dalam bidang ilmu nahwu dan sharaf (Arabic grammatical) dikenal dua mazhab besar, Kuffah dan Basrah.
Kedua kota itu masih dalam lingkup wilayah Babilonia (Iraq sekarang). Dalam ilmu qira’at, qira’at yang dikembangkan oleh ahli qira’at Kuffah jauh lebih orisinil dan otoritatif dibandingkan qira’at yang dikembangkan oleh ahli qira’at Mekkah.
Imam ‘Ashim (ahli qira’at Kuffah) berguru ke seorang Tabi‘in Abdurrahman al-Sulami. Abdurrahaman sendiri muridnya Ali bin Abi Thalib dan Ali tentu langsung belajar qira’at al-Qur’an kepada Nabi.
Sedangkan Ibn Katsir (Ahli Qira’at Mekkah) berguru kepada Abdullah bin Sa‘id, Abdullah bin Sa‘id mengaji kepada Ibn ‘Abbas, Ibn ‘Abbas belajar kepada Ubay bin Ka‘ab dan Ubay bin Ka‘ab belajar langsung kepada Nabi.
Jadi saat qira’atnya ahli Mekkah punya 4 transmisi menuju Nabi, qira’atnya orang Kuffah hanya butuh 3 perantara menuju Nabi.
Model hijrah seperti ini juga terjadi di masa modern (baca: sakarang).
Amerika yang dulunya dianggap sebagai negara yang mengambil jarak dengan Islam. Tapi proses islamisasi sekarang terjadi begitu gencar di Amerika. Konflik di daerah Muslim seperti Aceh dan Baghladesh membawa berkah tersendiri bagi terjadinya islamisasi di Amerika.
Di Detroit salah satu kota di State of Michigan, terdapat satu kampung kecil yang bernama Bangla Town. Kampung yang dulunya banyak dihuni oleh pelaut dari Polandia berubah menjadi kampung Islam saat kaum imigran dari Bangladesh bermukim di sana.
Bahkan saat ini Bagla Town menjadi satu-satunya wilayah di Amerika yang diizinkan kumandang azan menggunakan mikrofon luar. Di kota Harrisburg, sebuah kota kecil, 2 jam perjalan darat dari kota New York. Terdapat Meunasah (Indonesia: Mushala) yang didirikan oleh 200-san pengungsi Aceh yang bermigrasi ke Amerika saat terjadi konflik bersenjata di Aceh.
Peristiwa-peristiwa ini, disadari atau tidak, berkah dari restorasi makna hijrah yang dilakukan Nabi.
Jadi betapa pun pahitnya suatu peristiwa yang dihadapi oleh suatu kelompok, masih menyisahkan keberkahan di pihak yang lain. Pemahaman hijrah seperti ini yang mendorong al-Ghazali berkata dalam kitab masterpiece-nya Ihya Ulumuddin, “laisa fil imkan abda’u mimma kana” (Tidak ada di alam semesta ini yang lebih baik dari apa yang telah diatur Allah). Mari lah berhijrah sebagai sikap tunduk (baca: Islam) pada kehendak Allah.
*Penulis adalah Sekretaris Lembaga Penjaminan Mutu (LPM) UIN Ar-Raniry



