Surat Bupati Aceh Besar yang dikirimkan kepada para pengguna/penggarap lahan pada bantaran Krueng Aceh
Aceh Besar — Masyarakat pengguna atau penggarap lahan pada bantaran Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Aceh kini terancam bakal terkena penggusuran dan harus segera angkat kaki meninggalkan tempat tersebut.
Kepiluan tepat pada peringatan 75 tahun Indonesia Merdeka itu bermula saat Bupati Aceh Besar Marwardi Ali mengeluarkan surat perintah bernomor 614/2804 tanggal 06 Juli 2020, yang ditujukan kepada masyarakat yang mengelola kawasan DAS Krueng Aceh untuk membongkar dan membersihkan semua bangunan dan tanaman yang ada di bantaran sungai.
Kebijakan tidak populer tersebut dinilai hanya akan melahirkan pengangguran baru, karena ratusan masyarakat yang selama ini berusaha di sektor peternakan dan pertanian di atas lahan bantaran sungai Krueng Aceh bakal kehilangan pekerjaan.
Anggota DPR Kabupaten Aceh Besar, Khubbie Elrisal secara tegas mengatakan langkah yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Besar tersebut sangat tidak merakyat, pasalnya tindakan tersebut akan berdampak secara sosial maupun ekonomi kepada masyarakat.
“Sebagai wakil rakyat, kita berharap ada tindakan yang lebih berpihak kepada rakyat oleh Pemkab Aceh Besar dalam penertiban dan pembongkaran tersebut karena ada ratusan bahkan lebih seribuan masyarakat bergantung hidup disana, semestinya ini harus dipertimbangkan secara bijak,” ungkap Khubbie Elrisal, Selasa (18/8).
Menurut politisi Gerindra itu, sebelum lahan itu dikelola menjadi produktif oleh masyarakat, daerah tersebut merupakan kawasan yang rawan kriminal.
“Di kawasan bantaran sungai Cot Iri itu dulu sering terjadi kriminal, perampokan, asusila bahkan pernah terjadi pembunuhan. Lalu, masyarakat berinisiatif mengelola kawasan tersebut menjadi kawasan yang produktif, menyerap tenaga kerja yang cukup banyak.
Lalu ketika masyarakat sudah mengelola lahan di kawasan tersebut hingga menjadi produktif, semestinya pemerintah menyokong mulai dari membangun akses jalan yang baik, atau bantuan permodalan dan sebagainya. Ini kan sangat miris, bukannya ditolong malah mau digusur,” terangnya.
Masih kata Khubbie, semestinya berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai landasan konstitusional yang mewajibkan agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Jadi, lanjut Khubbie, output dan outcome sesungguhnya dari program yang dilakukan pemerintah/negara itu untuk kemakmuran rakyat, jika pemerintah juga memaksakan kehendak untuk menggusur rakyat yang telah berupaya menjadikan lahan yang terlantar menjadi produktif, maka patut dipertanyakan apakah tujuan pemerintah saat ini memiskinkan rakyat, membuat hadirnya pengangguran baru dan sebagainya.
“Memang kawasan tersebut tanah negara. Semestinya pemerintah bukan menggusur tetapi mengatur manajemennya bagaimana kawasan tersebut tetap produktif dan dapat digunakan masyarakat, lalu tidak mengganggu daerah aliran sungai serta dapat menghasilkan PAD,” jelasnya.
Khubbie menyebutkan, semestinya pemerintah bersyukur ketika masyarakat berpartisipasi dalam menjaga aliran sungai dan memanfaatkan kawasan yang dulunya lahan terlantar dan kawasan kriminal.
“Saat ini partisipasi masyarakat untuk meproduktifkan lahan yang dulunya terlantar sudah terlaksana, kawasan yang dulunya kumuh bahkan sudah jadi kawasan wisata, inikan sudah meringankan beban pemerintah. Harusnya pemerintah bersyukur bukan menggusur,” tegas Khubbie mengaku geram.
Seyogyanya, katanya, Pemkab Aceh Besar jauh-jauh hari melakukan langkah preventif, sehingga dengan sudah berkembangnya daerah itu seperti sekarang harus dilakukan penertiban.
Khubbie menambahkan, Pemkab Aceh Besar seyogyanya mengelola potensi yang telah berkembang dengan baik. Seperti halnya Pemerintah Kota Banda Sceh, yang malah mendirikan cafe di bantaran sungai dan menjadi icon baru usaha kuliner mereka.
“Pemkab Aceh Besar seharusnya menjadi tameng bagi rakyatnya bukan malah sebaliknya. Kita contohkan saja sebanyak 172 kepala keluarga mengantungkan hidupnya di salah satu objek wisata kuliner Cafe Ngohya, mereka akan terancam ekonominya jika pemerintah bertindak sembrono, belum lagi masyarakat lainnya,” ungkap Anggota DPRK Perwakilan Dapil V Aceh Besar itu.
Dia juga meminta agar Pemkab Aceh Besar mencarikan jalan keluar terbaik untuk menyelamatkan nasib rakyat yang bakal kehilangan pekerjaan dan menjadi pengangguran baru.
“Kita meminta adanya win win solution yang dapat diterima oleh semua pihak, kita abdi rakyat sudah sepatutnya kita memberi yang terbaik buat rakyat,” pungkasnya.
Sebelumnya, Pemkab Aceh Besar menyatakan akan segera melakukan penertiban dan pembongkaran di sekitar bantaran Krueng Aceh.
Hal tersebut menindaklanjuti Surat Kepala Balai Wilayah Sungai Sumatera I Nomor SA.0401-Bws1/185 tertanggal 12 Februari 2020 perihal permohonan fasilitasi penertiban dalam rangka penataan kawasan Krueng Aceh Floodway.
Bupati Aceh Besar, Mawardi Ali melalui Kasatpol PP dan WH, M Rusli, Senin (17/8) menjelaskan, Pemkab Aceh Besar sudah mengirim surat kepada para pengguna/penggarap lahan pada bantaran Sungai Krueng Aceh sesuai dengan Surat Bupati Aceh Besar tanggal 6 Juli 2020.
Dalam surat tersebut, Pemkab Aceh Besar mengharapkan kepada pengguna/penggarap lahan agar segera membongkar dan membersihkan sendiri bangunan dan tanaman yang berada pada bantaran sungai Krueng Aceh.
Selama ini, pengguna lahan tersebut tersebar di beberapa kecamatan, seperti Kecamatan Krueng Barona Jaya, Kutabaro, Ingin Jaya, Darussalam dan Baitussalam.
“Rencana dalam dua hari ini, kita akan kembali melayangkan surat kedua kepada pengguna atau penggarap lahan di kawasan bantaran sungai Krueng Aceh itu. Kita berharap, pengguna atau penggarap lahan patuh,” ungkap M Rusli. (IA)



