BANDA ACEH — Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Aceh Dr Muhammad Yusran Hadi Lc MA ikut memberikan tanggapan terhadap SE Menteri Agama mengenai pengaturan penggunaan pengeras suara masjid dan pernyataan Menag Yaqut Cholil Qaumas yang membandingkan suara azan dengan suara gonggongan anjing.
Menurutnya, pernyataan Menag Yaqut tersebut telah menimbulkan keresahan umat Islam, kegaduhan bangsa, dan kecaman umat Islam secara luas kepada Menag Yaqut.
“Sangat menyayangkan pernyataan Menag Yaqut. Pernyataan Yaqut ini telah membuat kegaduhan bangsa dan melukai perasaan umat Islam. Ini sangat berpotensi merusak ukhuwah umat Islam dan persatuan bangsa,” ujar Yusran Hadi dalam pernyataannya di Banda Aceh, Sabtu (26/2).
Menurutnya, ini merupakan penistaan agama Islam. Perbuatannya ini sepatutnya diproses hukum karena mengandung unsur pidana dan melanggar hukum pidana tentang larangan penistaan agama. Unsur pelanggaran ini sudah terpenuhi karena diucapkan dengan sengaja dan disampaikan di hadapan publik dan dimuat di media-media.
Pernyataan Yaqut juga melanggar Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 29 yang menjamin toleransi beragama di Indonesia.
Hal itu karena mengeneralisasikan penggunaan toa untuk azan di masjid dan musalla/surau menggangu pemeluk agama lain dan mengatasnamakan toleransi adalah keliru dan berlebihan.
Seharusnya, tidak boleh seorangpun yang merasa terganggu dengan suara azan, apalagi melarangnya. Karena, azan adakah syariat dan syi’ar Islam yang harus dihormati oleh pemeluk agama lain, terutama muslim itu sendiri.
Sebagaimana selama ini umat Islam menghormati syiar dan ajaran agama lain seperti bunyi lonceng gereja sebagai syiar panggilan ibadah umat Kristen dan asap pembakaran dupa sebagai ibadah umat Hindu. Inilah toleransi yang benar.
Terkait membuat perbandingan antara suara azan yang merupakan syi’ar Islam, ibadah dan seruan untuk shalat yang merupakan salah satu rukun Islam kelima agar ditunaikan secara berjamaah di masjid dan musalla dengan suara gonggongan anjing dan melarang memperbesar suara azan dengan memperkecil suara volume toa, adalah cermin sikap tidak toleransi beragama.
“Sangat aneh bila ada orang yang mengaku dirinya sebagai orang yang menjunjung prinsip toleransi, justru dirinya tidak toleransi, mengaku dirinya sebagai orang yang mengamalkan prinsip Pancasila, tapi justru melanggar Pancasila, mengaku taat hukum, tapi justru melanggar hukum,” sebut Yusran Hadi yang juga Pengurus Parmusi Aceh.
Ia menilai pernyataan Yaqut ini menunjukkan sifat dan sikapnya yang Islamofobia, karena hanya ditujukan khusus untuk umat Islam, sedangkan penggunaan pengeras suara untuk keperluan lainnya, semisal konser musik dan lagu, pentas seni, perniagaan, pertandingan olahraga, perkawinan dan lainnya yang sering kali lebih keras dibanding suara Azan, tidak ditertibkan.
Pernyataan itu menunjukkan jati diri dan cermin kepribadiannya yang sebenarnya. Karena, suatu ucapan itu keluar dari keyakinan dan karakter seseorang. Ucapan seperti ini tidak mungkin keluar dari mulut seorang muslim yang baik dan benar keislaman dan keimanannya.
“Pernyataan Yaqut adalah kesalahan yang besar dan fatal. Pernyataannya ini tidak benar dan tidak bisa diterima secara agama, logika sehat, fakta dan moral. Azan itu ajaran Islam untuk memanggil orang untuk shalat lima waktu sehari semalam. Suaranya merdu dan indah. Semua orang mengakuinya termasuk orang-orang non muslim kecuali ada sifat kemunafikan atau kedengkian di hatinya. Bahkan sebagian orang-orang non muslim tertarik masuk Islam karena keindahan suara azan,” tegas doktor bidang Fiqh dan Ushul Fiqh pada International Islamic University Malaysia (IIUM) ini.
Pernyataan Yaqut itu termasuk radikal dan bertentangan dengan pernyataannya sendiri dan pemerintah yang sibuk mengampanyekan deradikalisasi selama ini. Sangat disayangkan, ada orang yang menganggap dirinya paling toleran dan suka menuduh radikal orang lain, namun pernyataannya ini mencerminkan sikap intoleran dan radikal.
Pernyataan Yaqut sangat memalukan dan mencoreng pemerintah. Ucapannya menganalogikan suara azan dengan suara gonggongan anjing ini sangat kasar dan tidak sopan sehingga melukai hati umat Islam. Tidak pantas bagi seorang pejabat setingkat menteri berbicara seperti itu di hadapan publik dan di media, terlebih lagi bagi seorang menteri agama yang sepatutnya memberi keteladanan yang sejuk dan menumbuhkan spirit toleransi beragama yang benar.
Ucapannya ini lebih parah dari orang yang tidak berpendidikan, karena tidak beradab dan tidak pula bersikap sopan santun terhadap agama dan umat Islam.
Mengingatkan implikasi ucapan Yaqut sebagai seorang muslim. Ucapannya ini sangat berbahaya bagi dirinya sendiri sebagai muslim. Ucapan ini dosa besar, bertentangan dengan perilaku orang beriman yang senantiasa memuliakan dan mengagungkan simbol simbol agama.
Pernyataan Yaqut telah merusak toleransi beragama itu sendiri. Toleransi bermakna saling menghormati dalam menjalankan agama. Larangan Menag Yaqut dalam Surat Edarannya sebagai menteri agama telah merusak makna dan semangat pengamalan toleransi.
“Meminta Yaqut untuk menghentikan segala bentuk stigma keji terhadap syariat dan syi’ar Islam dan meminta Yaqut mencabut Surat Edaran yang telah menjadi sumber masalah kegaduhan bangsa saat ini serta meminta maaf kepada umat Islam secara terbuka.
Meminta Yaqut untuk fokus kepada tugas dan kewajibannya sebagai Menteri Agama. Masih banyak persoalan-persoalan penting yang harus dipikirkan dan diselesaikan oleh seorang Menteri Agama seperti persoalan internal kementeriannya, urusan haji, waqaf, nikah, talak, dan lainnya khususnya persoalan penistaan agama.
Jangan sibuk dengan urusan kecil seperti suara toa azan, radikalisme, toleransi yang salah kaprah, dan yang lainnya yang bukan menjadi tupoksi Menteri Agama dan tidak memberikan manfaat bagi Islam dan umat Islam. (IA)



