BANDA ACEH — Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) memberikan beberapa catatan kritis terhadap perkembangan penyidikan kasus dugaan korupsi beasiswa Pemerintah Aceh Tahun 2017 setelah penyidik Polda Aceh menetapkan tujuh orang tersangka.
Koordinator MaTA Alfian menilai, penetapan tersangka terhadap kasus korupsi beasiswa yang telah diumumkan oleh pihak Polda Aceh, hanya terfokus pada “oknum pelaku” di level kebijakan administrasi dan belum menyentuh pada aktor “pemilik modal” yang terlibat sejak awal dari perencanaan, penganggaran, dan mengusul nama nama penerima beasiswa.
Ada 23 orang dengan istilah mereka, Koordinator /Perwakilan dari Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang memiliki kewenangan dalam kasus beasiswa kepada mahasiswa.
“Secara hemat kami, lahirnya istilah koordinator/perwakilan anggota DPRA, berdasarkan perintah atau desain aktor. Karena di tingkatan tersebut pemotongan/korupsi beasiswa terjadi. Selanjutnya kalimat koordinator/perwakilan tersebut tidak dikenal dalam administrasi negara atau daerah.
Sehingga Polda Aceh penting dan patut mengembangkan penyidikan berlanjut terhadap keberadaan 23 orang tersebut. siapa yang memberikan kewenangan bagi mareka dan atas perintah siapa,” ujar Alfian dalam keterangannya, Rabu (2/3).
Ditambahkannya, dalam penetapan tersangka yang telah diumumkan, atas inisial RK, disangkakan bukan sebagai Koordinator/perwakilan dari Anggota DPRA.
Akan tetapi inisial tersebut sebelumnya juga menerima beasiswa pendidikan dan kembali mendapatkan beasiswa di tahun 2017. Karena menerima dua kali beasiswa dan ini bertentangan dengan Pergub Nomor 58 Tahun 2017.
“Kemudian pertayaannya adalah atas inisial tersebut, siapa anggota DPRA yang telah memerintahkan RK?,” terangnya.
Menurutnya, kasus korupsi beasiswa Pemerintah Aceh secara konstruksi kasus tidak akan selesai kalau ada upaya aktor “diselamatkan”, seharusnya kemauan yang kuat bagi polda untuk mengusut secara utuh aktornya.
Sehingga tidak meninggalkan pesan pada publik, kalau politisi atau orang berpengaruh tidak dapat tersentuh hukum dan ini sangat berimplikasi pada kepercayaan publik.
Padahal modus pemotongan dalam kasus kejahatan luar biasa tersebut dengan sangat mudah untuk mengusutnya.
MaTA mempertanyakan kepada Polda Aceh, apa urgensinya sehingga kasus korupsi beasiswa tidak diusut secara utuh dan upaya “mengamankan” aktor sejak awal sangat kelihatan (sudah 3 kepemimpinan Polda).
Padahal publik sudah sangat sabar menunggu atas kinerja penyelidikan dan penyidikan kasus tersebut dan ini menjadi tanda tanya publik sejak dulu.
“Perlu political will yang kuat untuk Kapolda Aceh dalam menyelesaikan kasus korupsi beasiswa secara utuh, dan kami percaya kasus korupsi tersebut tidak berdiri pada orang-orang di level kebijakan administrasi saja akan tetapi sebagai “pemilik modal” aktor patut ditetapkan tersangka sehingga rasa keadilan tidak selalu tercederai dan pelaku juga tidak tersendera oleh kasus tersebut,” pungkas Alfian. (IA)



