BANDA ACEH — Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) memberikan beberapa catatan kritis terhadap kebijakan penghentian Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) mulai 1 April 2022.
Koordinator MaTA Alfian mengatakan, persoalan penting yang harus segera terselesaikan baik secara administrasi maupun penegakan hukum. Karena secara tranparansi, Pemerintah Aceh sampai saat ini tidak memiliki data, berupa nama dan alamat yang pernah mendapatkan layanan JKA.
Anehnya lagi sejak 2010 Pemerintah Aceh tidak pernah serius ingin tahu. Data tersebut kesannya sangat tertutup dikuasai oleh BPJS Kesehatan, dan pihak BPJS juga susah diakses oleh publik.
“Kita hanya tahu jumlah jiwa tapi siapa pasien dan alamatnya yang terima layanan JKA sangat tertutup. Ada pasien yang menurut kami perlu dibongkar secara serius, mulai tahapan verifikasi data, kontrak, layanan, klaim pihak rumah sakit ke BPJS dan tahapan akuntabilitas dan transparansi.
Tahapan ini sangat rawan terjadi tindak pidana korupsi, misalnya, tahun 2016 rekonsiliasi dengan pihak BPJS Kesehatan, hanya tercatat 2.066.979 jiwa sebagai peserta JKRA.
Artinya ada 460.061 jiwa data Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang fiktif tetapi Pemerintah Aceh tetap membayar ke BPJS,” kata Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Alfian dalam keterangannya, Ahad (20/3).
Akibat adanya 460.061 jiwa data NIK yang fiktif, tambah Alfian, telah terjadi kerugian keuangan Aceh pada saat itu sebanyak Rp 63,4 miliar dari total Rp 506 miliar anggaran JKRA.
Parahnya lagi yang sampai saat ini belum ada kepastian hukumnya.
“Kemudian fase kontrak, kami mendengar ada indikasi terjadi komitmen fee, siapa yang terima selama ini, aparat penegak hukum (APH) perlu memastikan apa benar atau tidak terjadi sehingga tidak menjadi liar sebagaimana dari dulu sampai sekarang berkembang,” terangnya
Hal lainnya, sebut Alfian adalah, pelayanan atau warga yang sudah mendapatkan layanan JKA, masih banyak keluhan. Seharusnya warga Aceh mendapatkan layanan kesehatan yang lebih karena Pemerintah Aceh tiap tahun melakukan subsidi ke BPJS.
Ini menjadi masalah yang tidak pernah dituntaskan oleh Pemerintah Aceh sejak 2010 JKA diberlakukan, misalnya masih ditemukan keluhan warga, pelayanan pasien JKA tidak mendapatkan layanan yang semestinya.
Status sosial atau akses ke pihak rumah sakit sangat penting. Kalau tidak demikian pasien tidak terlayani. Obat ditanggung oleh JKA, tapi masih ada oknum menjual obat ke pasien dengan alasan obat paten.
Pasien rujukan juga dipungut biaya dengan berbagai alasan. Keluhan ini tidak terselesaikan, seharusnya pemerintah membuka semacam model unit komplain sehingga pasien ketika ada masalah sudah tahu melapor kemana dan juga masalahnya diselesaikan tanpa diskriminasi dan memandang status sosial.
Karena dengan anggaran yang sangat besar Pemerintah Aceh keluarkan tiap tahunnya harus sebanding dengan layanan yang diterima warga dengan layanan JKA.
Alfian menyebutkan, saat ini tidak ada alasan bagi Pemerintah Aceh untuk menghentikan JKA, karena JKA merupakan salah satu program unggulan Pemerintahan Irwandi-Nova, yang meliputi pemenuhan akses layanan kesehatan gratis yang lebih mudah, berkualitas dan terintegrasi bagi seluruh rakyat, pemberian santunan untuk kalangan masyarakat usia lanjut, pembangunan Rumah Sakit Regional tanpa menggunakan utang luar negeri (loan), serta mengembalikan ruh JKA yang pernah dirasakan oleh rakyat Aceh.
“Jadi kalau mareka utarakan dengan alasan anggaran tidak cukup, jelas tidak mendasar. Publik Aceh sangat paham menyangkut anggaran Aceh saat ini. Jangan mareka kira, apa yang mareka bilang rakyat terima dan percaya. Jadi tidak ada alasan bagi pemerintah menghentikan JKA. Kalaupun dipaksakan untuk penghentian layanan JKA maka patut diduga anggaran Aceh 2022 sudah dibajak oleh para kartel dan ini menjadi kewajiban bagi rakyat Aceh untuk melawan secara menyeluruh,” pungkas Alfian. (IA)



