JAKARTA — Forum Komunikasi Pemuda Mahasiswa Bireuen (FORKOPMABIR) DKI Jakarta mendukung Dr Safrizal ZA MSi, sebagai sosok yang layak menjadi Penjabat (Pj) Gubernur Aceh, menggantikan Nova Iriansyah yang berakhir masa jabatannya pada 5 Juli 2022.
Ketua Presidium FORKOPMABIR Agussalim kepada media, Sabtu (18/6/2022) dalam keterangannya mengatakan, sosok Safrizal sangat tepat dan layak untuk dimandatkan oleh Presiden dan Mendagri sebagai Pj Gubernur Aceh mendatang.
“Setelah melakukan beberapa kajian dan analisa mendasar dari beberapa nama yang sempat muncul ke hadapan publik selama ini, kita menilai sosok Safrizal sangat layak dan cocok dimandatkan oleh Mendagri untuk menjabat sebagai Pj Gubernur Aceh mendatang,” sebutnya.
Bukan tanpa alasan, hal itu disampaikan oleh pria yang akrab disapa Agsal tersebut, dengan melihat dari berbagai sisi aspek sepak terjang pengalaman dan latar belakang jenjang karir Safrizal selama ini di dalam struktur pemerintahan yang dimiliki memang layak dan perlu dijadikan bahan acuan oleh Presiden dan Mendagri untuk menunjuknya sebagai Pj Gubernur Aceh ke depan.
“Seperti diketahui, dalam hal karir kepemimpinan beliau pernah berpengalaman menjabat sebagai Pj Gubernur Kalimantan Selatan. Belum lagi jika kita merujuk pada biografi yang ada, sepak terjang awal karir beliau telah melewati berbagai proses yang lumayan matang di antaranya, mengawali karier sebagai PNS di lingkungan Pemerintah Kabupaten Aceh Utara, dengan jabatan sebagai Lurah Kota Lhokseumawe, Banda Sakti, Lhokseumawe tahun 1994. Kemudian menjadi Sekretaris Camat Kecamatan Makmur Kabupaten Aceh Utara tahun 1998.
Disamping itu juga ia pernah terlibat aktif dalam persiapan pemekaran Kabupaten Bireuen, mulai dari tahap awal hingga Bireuen menjelma menjadi sebuah daerah kabupaten yang otonom. Di Bireuen ia pernah menduduki posisi Kasubbag Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah pada tahun 2000. Sampai tahun 2001 Safrizal hijrah ke Jakarta tepatnya ke Kementerian Dalam Negeri RI.
Mengawali debut karier sebagai Kasi Aceh dan DKI Jakarta-Subdit Otonomi Khusus Ditjen Otda Depdagri.
Kemudian, alasan kedua karena ia sebagai sosok putra berdarah Aceh yang kini memiliki jabatan dan posisi sangat strategis di lingkungan Kemendagri pernah mengisi jabatan sebagai Direktur Penataan Daerah dan Otonomi Khusus pada tahun 2016.
“Tentunya ini akan dapat memberikan dampak positif untuk keberlangsungan pembangunan Aceh mendatang. Sebab, Provinsi Aceh termasuk dalam salah satu daerah yang berstatus Otonomi Khusus, jadi sangat tepat jika Pj. Gubernur Aceh dimandatkan kepada Beliau. Sebagaimana serangkaian tour of duty di lingkungan Kemendagri telah dijalaninya, sehingga membuatnya menjadi lebih matang dan kaya akan pengalaman tentang manajemen pemerintahan.
Khususnya yang berkaitan langsung dengan tata kelola pemerintahan Otonomi Khusus (Otsus), seperti Aceh, DKI, DIY dan Papua, selaku kepala pusat inovasi daerah yang berkecimpung agar daerah berkreasi dalam menjalani roda pemerintahannya.
Hal ini tentunya sangat dibutuhkan oleh Provinsi Aceh dalam menjawab beragam permasalahan pembangunan yang masih belum tertata rapi dan memilik arah yang jelas akan prospek Aceh di masa mendatang pasca 17 tahun perdamaian sejak MoU Helsinki tahun 2005.
Menurutnya, melihat kondisi pembangunan Aceh yang masih memiliki banyak problematika di lapangan. Maka Aceh perlu dipimpin oleh sosok yang memiliki kapasitas mumpuni untuk menjadi corong utama Pemerintah Aceh dalam mengawal dan merealisasikan kekhususan yang dimiliki melalui peran kolaboratif antara Aceh dan Pusat, disamping itu juga perlu adanya peran-peran diplomasi politik terkait perwujudan poin-poin MoU Helsinki yang masih belum terealisasi dengan baik.
“Dikarenakan Aceh memiliki kekhususan pasca perjanjinan MoU Heslinki, diberikan melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. UU Pemerintahan Aceh ini tidak terlepas dari Nota Kesepahaman antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani 15 Agustus 2005 dan merupakan suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, serta politik di Aceh secara berkelanjutan. UU 11/2006, yang berisi 273 pasal, merupakan Undang-undang Pemerintahan Daerah bagi Aceh secara khusus. Maka di dalam menjalankan tata kelola Pemerintahan Aceh mesti mengacu pada UUPA yang ada sebagai bentuk mewujudkan pencapaian cita-cita pembangunan Aceh secara berkelanjutan”, lanjutnya.
Terakhir, ia juga menilai sosok Safrizal merupakan pilihan yang tepat untuk menjadi Pj. Gubernur Aceh nantinya, selain ia putra Aceh yang sudah memahami kondisi elektoral Aceh, ia juga mampu menjalin komunikasi yang baik dengan Pemerintah Pusat yang telah dimodali rekam jejak dalam karirnya selama ini di struktural pemerintahan.
“Hal ini penting untuk diperhatikan demi menjaga agar setiap stabilitas politik di Aceh tetap berlangsung damai dan kondusif. Dilihat dari pengalaman jenjang karir, beliau sudah pasti memiliki kecakapan mumpuni untuk memimpin Aceh dalam memperjuangkan program-program strategis nasional untuk meningkatkan perekonomian di Aceh, menekan angka kemiskinan yang selama ini masih menjadi beban berat Provinsi Aceh, mempertahankan keberlanjutan program JKA dan juga meningkatkan kualitas pendidikan serta pengembangan sumberdaya manusia di Aceh untuk menekan angka pengangguran dengan menghadirkan peluang kerja bagi putra-putri Aceh. Apalagi, ia pernah berpengalaman memimpin di tingkat provinsi ketika ditunjuk menjadi Pj Gubernur Kalimantan Selatan beberapa waktu lalu. Jadi, sudah tidak perlu diragukan lagi beliau sangat tepat ditunjuk sebagai Pj Gubernur Aceh mendatang,” tutupnya. (IA)



