BANDA ACEH — Keputusan Pemko Banda Aceh yang hanya menyerahkan 11 orang wanita muda diduga pelaku pesta miras yang ditangkap di kawasan wisata Ulee Lheue pada Ahad dini hari (16/10) untuk dibina BNNP dinilai sungguh melukai hati masyarakat Aceh.
Pasalnya Aceh dengan kekhususannya ada Qanun Jinayat yang telah mengatur hukuman yang jelas bagi para pelanggar syariat Islam, sehingga keputusan Pemko Banda Aceh itu malah dinilai mengabaikan kekhususan Aceh sebagaimana telah diatur di dalam qanun.
“Dalam kejadian pesta miras di kawasan Ulee Lheue tersebut jelas-jelas telah melanggar syariat Islam, pertama perempuan berkumpul hingga dini hari di luar rumah, kemudian ditemukan barang bukti berupa minuman keras. Lalu sangat disayangkan jika keputusan Pemko hanya sebatas menyerahkan ke BNNP untuk pembinaan, di sini ketegasan dan komitmen Pj Wali Kota Banda Aceh sebagai pemimpin yang bertanggung jawab terkait penegakan syariat Islam patut dipertanyakan,” ungkap Koordinator Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Untuk Rakyat (GeMPuR) Asrinaldi kepada media, Selasa, 18 Oktober 2022.
Menurutnya, persoalan syariat Islam hingga larangan meminum khamar (minuman keras) secara khusus sudah tertera di dalam Qanun Nomor 12 tahun 2003 tentang minuman khamar dan sejenisnya. “Selain itu juga dipertegas dalam Qanun Jinayah Aceh Nomor 6 Tahun 2014 pasal 16 ayat 1 tentang Khamar. Jadi, persoalan pesta miras ini sudah diatur sedemikian rupa di dalam qanun termasuk persoalan sanksinya. Namun, sangat disayangkan Pj Wali Kota melalui instansi terkait justru kurang tegas dan terkesan mengabaikan kekhususan Aceh yang sudah ditegaskan di dalam qanun Aceh tersebut,” jelasnya.
Ketidaktegasan Pj Wali Kota itu, kata Asrinaldi, mencerminkan bahwa komitmen Pj Wali Kota sangat lemah dalam penegakan syariat Islam dan dinilai telah mengabaikan kekhususan Aceh.
“Jika keputusan yang dilakukan justru hanya pembinaan tanpa sanksi yang tegas maka pelanggaran syariat Islam akan dianggap sesuatu yang biasa, dan kejadian serupa akan terulang begitu saja. Di sini Pj Wali Kota secara tidak langsung dapat dilihat sangat tidak tegas dalam upaya pencegahan pelanggaran syariat Islam dan pemberlakuan sanksi sesuai Qanun Aceh,” ujarnya.
Terlepas dari adanya pihak yang memuji-muji Pj Wali Kota pasca keputusan itu, namun dapat dipastikan akan banyak masyarakat sangat kecewa.
“Ada yang memuji ya silahkan saja, tapi Pj Wali Kota jangan terlena. Ini menyangkut marwah Aceh dan juga sudah diatur secara khusus di dalam Qanun Aceh, jadi jangan larinya ke persoalan HAM dan seterusnya sambil memuji-muji Pj Wali Kota, kemudian dampaknya malah mengabaikan kekhususan Aceh dan merusak citra maupun marwah Aceh dalam penegakan syariat Islam sebagaimana mestinya sesuai qanun.
Jadi, kalau ada yang cari muka sama Pj Wali Kota sebut persoalan syariat Islam ini politik, dan Pj Wali Kota mendengarkan itu, maka patut diduga Pj Wali Kota yang sebenarnya ikut berpolitik dengan mengatasnamakan syariat. Katanya komitmen, begitu dipuji malah hilang ketegasannya dan terima masukan begitu saja tanpa perhatikan kekhususan Aceh, ini cukup ironis dan miris tentunya,” katanya mengaku prihatin.
Pihaknya meyakini tidak ada intervensi Mendagri yang melarang Pj Wali Kota memberlakukan kekhususan Aceh di bidang syariat Islam sesuai dengan qanun Aceh.
“Inikan kesannya karena Pj Wali Kota dimandatkan Mendagri lalu mengambil keputusan tidak memberikan sanksi sesuai Qanun Aceh, malah menimbulkan prasangka masyarakat seakan-akan Mendagri sengaja menyuruh Pj Wali Kota tak menerapkan Qanun kekhususan Aceh tentang syariat Islam khususnya khamar.
Padahal, kami yakin tidak ada perintah dari Mendagri untuk mengabaikan kekhususan Aceh yang sudah dipertegas dalam qanun, sayang kan Pj Wali Kota yang lakukan kebijakan tapi Mendagri atau pemerintah pusat yang kena imbasnya nanti, padahal bicara kekhususan terkait syariat Islam di Aceh sudah didukung penih oleh pemerintah pusat,” tutupnya.
Terpisah, Plt Kasatpol PP dan WH Banda Aceh M Rizal SSTP MSi mengungkapkan, saat ini ke-11 wanita yang terjaring razia penertiban pelanggaran syariat Islam di kawasan wisata Ulee Lheue telah kembali, mereka hanya dikenai tanggung jawab untuk wajib lapor sebagai wujud pembinaan.
“Tidak terbukti, yang pertama tidak kita tangkap tangan, tidak ada pengakuan dan setelah dilakukan tes urine ke-11 mereka hasilnya negatif,” kata Plt Kasatpol PP dan WH Banda Aceh.
Sehingga ke-11 wanita yang ditertibkan di kawasan Pelabuhan Ulee Lheue pada Ahad dini hari (16/10) sudah kembali.
Pemeriksaan hanya berlaku 24 jam, selama tidak terbukti, maka mereka tidak ditahan.
Ke-11 wanita yang ditemukan berada di kawasan Ulee Lheue depan pintu masuk pelabuhan pada pukul 02.00 WIB Ahad dini hari, 16 Oktober 2022 akhirnya kembali ke rumah masing-masing, setelah didata, dicek urine juga ternyata tidak terbukti melanggar syariat, dan mereka kini tidak lagi berada di Kantor Satpol PP-WH Banda Aceh. (IA)



