BANDA ACEH— Pengurus Wilayah Pelajar Islam Indonesia (PW PII) Provinsi Aceh menilai pendidikan Aceh saat ini semakin terpuruk di masa Alhudri menjabat Kepala Dinas Pendidikan Aceh.
Ketua Umum PW PII Aceh Amsal dalam keterangannya, Selasa (1/11) menyampaikan, sebagai organisasi pelajar tertua di Indonesia yang mempunyai tujuan kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan, PII Aceh melihat realitas pendidikan di Aceh saat ini yang kian menurun kualitasnya.
Amsal mengungkapkan, setidaknya ada 4 indikator buruknya kualitas pendidikan di Aceh saat ini menurut pandangan PW PII Aceh.
Pertama, menurunnya daya saing pendidikan Aceh dengan daerah lain. Hal ini dapat dilihat dari rilis Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT) mengenai rangking sekolah di Indonesia berdasarkan kelulusan Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) tahun 2022.
Hal itu karena tidak ada lagi sekolah di Aceh yang masuk ke jajaran 100 sekolah terbaik. Hanya ada 4 sekolah yang menempati Top 1000 yaitu SMA Negeri Modal Bangsa pada posisi 157, diikuti SMAN Fajar Harapan pada posisi 434, MAN Insan Cendekia Aceh Timur posisi 378 dan terakhir SMA Lab School Universitas Syiah Kuala (USK) posisi 933.
“Artinya dari 1045 sekolah SMA sederajat (SMA/SMK/MA) di Aceh hanya 4 yang punya kualitas saing nasional dan itupun hanya 1000 besar,” sebut Amsal.
Kedua, sarana dan prasarana yang tidak memadai. Sangat banyak sekolah-sekolah yang ada di pelosok Aceh sarana dan prasarana sangat tidak layak. Tidak ada keseriusan dalam menyetarakan kualitas pendidikan di daerah perkotaan dan daerah pelosok.
Padahal, kebutuhan pendidikan adalah hak bagi seluruh manusia tanpa perbedaan. Daerah seperti Pulo Aceh, Aceh Singkil, Simeulue, Gayo Lues dan daerah lainnya memiliki fisik pendidikan yang sangat memprihatinkan.
Padahal layak tidaknya sarana pendidikan kemudian memengaruhi daya belajar dari siswa.
Ketiga, distribusi tenaga didik yang kurang. Hingga hari ini daerah tertinggal seperti Pulo Aceh dan pedalaman di daerah pantai barat selatan Aceh kekurangan tenaga pendidik karena jauhnya akses ke daerah tersebut.
Hingga hari ini tidak ada tindakan atau solusi konkrit bagaimana seharusnya agar distribusi tenaga didik ini merata sehingga seluruh anak anak yang ada di Aceh merasakan bagaimana pendidikan yang sebenarnya.
Keempat, birokrasi pendidikan yang sangat bobrok. Alokasi dana pendidikan di Aceh adalah 20 persen dari jumlah anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA). Tahun 2022 anggaran dana pendidikan adalah senilai Rp 3,8 Triliun.
Namun dana itu tidak didistribusikan kepada hal-hal yang krusial seperti peningkatan mutu kualitas pendidikan di Aceh. Malah dana tersebut dialokasikan kepada hal-hal mubazir seperti pengadaan wastafel senilai Rp 41,2 miliar.
Apalagi kemudian dana tersebut diduga dikorupsi berdasarkan hasil sitaan uang sejumlah Rp 200 juta oleh Polda Aceh.
Permasalahan yang mendasar dari birokrasi yang bobrok ini adalah pucuk pimpinan Dinas Pendidikan Aceh yaitu Alhudri yang bukan dari kalangan pendidikan.
Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.
Seharusnya yang memegang posisi penting dan terfokus seperti Dinas Pendidikan adalah orang yang memang ahli atau berpengalaman di bidang itu.
Maka berdasarkan hasil dari pandangan tersebut, PW PII Aceh menyimpulkan ada ketidakseriusan Dinas Pendidikan Aceh dalam meningkatkan mutu pendidikan di Aceh. Maka dari itu perlu adanya penyegaran di dinas tersebut.
“PW PII Provisi Aceh mendesak Pj Gubernur Aceh segera mencopot Kadis Pendidikan Aceh Alhudri, karena di bawah kepemimpinan Alhudri tidak ada pencapaian yang membanggakan bagi pendidikan Aceh,” ungkap Amsal. (IA)



