BANDA ACEH — Dua terdakwa kasus tindak pidana korupsi penyimpangan dalam pengelolaan anggaran Aceh World Solidarity Cup (AWSC) atau Tsunami Cup Tahun 2017, Muhammad Zaini Yusuf dan Mirza Bin Ramli kini berstatus sebagai tahanan kota.
Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh memenuhi permintaan peralihan status tahanan terdakwa dari sebelumnya rumah tahanan menjadi tahanan kota terhitung mulai 10 November 2022 hingga 1 Januari 2023.
“Untuk syaratnya itu kedua terdakwa tidak bisa keluar dari Banda Aceh, kami minta teman-teman media juga memantaunya,” ujar Kasi Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Negeri (Kejari) Banda Aceh Koharuddin SH mengatakan bahwa Koharuddin, Jum’at (11/11/2023).
Status menjadi tahanan kota tersebut, sambung Koharuddin, berdasarkan keputusan Majelis Hakim yang mengabulkan permohonan kedua terdakwa dengan alasan terdakwa adalah tulang punggung keluarga dan juga untuk mempermudah terdakwa melakukan sidang karena tidak perlu penjemputan lagi.
Kuasa hukum Mirza Zulfikar mengatakan ada penjamin dari peralihan status tahanan menjadi tahanan kota, yaitu istri dan adik kandung terdakwa.
“Untuk jaminannya itu istri sama adik kandung terdakwa, yang kita harapkan dengan ini sidang akan lebih lancar,” terangnya.
Sebelumnya, Kejari Banda Aceh pada Senin (19/9/2022) melakukan penahanan terhadap M Zaini Yusuf, sebagaimana Surat Perintah Penahanan Nomor: Prin-13/L.1.10/Fd.1/09/2022 tertanggal 19 September 2022, setelah sebelumnya juga telah ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan surat penetapan Nomor: Prin-09/L.1.10/Fd.1/09/2022 tertanggal 7 September 2022 atas Dugaan Tindak Pidana Korupsi Penyimpangan Anggaran dalam Pengelolaan Atjeh World Solidarity Cup tahun 2007.
Zaini Djalil SH selaku kuasa hukum tersangka M Zaini Yusuf menyatakan tidak sependapat dengan penyidik Kejari Banda Aceh terkait penahanan yang dilakukan terhadap kliennya.
“Meskipun kewenangan penahanan hak subjektif dari penyidik atas dasar adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana, kami menilai tidak tepat alasan tersebut menjadi dasar dilakukan penahanan terhadap klien kami,” sebut Zaini Djalil.
Menurut Zaini, tidak mungkin kliennya akan menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana, mengingat seluruh alat barang bukti khusunya segala surat-surat telah dilakukan penyitaan oleh penyidik terhadap kasus sebelumnya atas terdakwa Simon dan Sa’dan.
Kuasa hukum selanjutnya menempuh upaya untuk penangguhan penahanan terhadap tersangka M Zaini Yusuf.
“Kami juga sudah mengajukan permohonan agar klien kami tidak ditahan/penangguhan penahanan dengan jaminan keluarga,” terangnya.
Diungkapkannya, dalam dugaan tindak pidana korupsi penyimpangan dalam pengelolaan Atjeh World Solidarity Cup tahun 2007, tersangka M Zaini Yusuf diduga menerima dana sebesar Rp 730.000.000.
“Hal ini sangatlah tidak benar, karena uang tersebut merupakan pembayaran hutang kepada klien kami yang awalnya memberikan pinjaman kepada panitia melalui Sa’dan untuk mendukung suksesnya kegiatan AWSC 2007. Mengingat saat itu belum ada pencairan dana dari Pemerintah Aceh dengan jumlah pinjaman dari klien kami sebesar Rp 2.650.000.000, dan uang pinjaman tersebut telah terbukti di persidangan, sesuai dengan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Banda Aceh Nomor : 2/Pid.Sus-TPK/2022/PN Bna telah jelas Majelis Hakim dalam pertimbangannya menyebutkan “Menimbang, bahwa berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan tersebut, terdakwa Moh Sa’dan Bin Abidin selaku ketua panitia AWSC telah meminjam uang melalui M Zaini sejumlah Rp 2.650.000.000,-.”
Jika penyidik beralasan bahwa pembayaran uang tersebut bersumber dari pembayaran hak siar dari PSSI dan tidak melalui mekanisme pengelolaan keuangan negara, itu bukanlah tanggung jawab M Zaini Yusuf melainkan tanggung jawab panitia dalam hal ini terpidana Sa’dan dan Simon sebagai penerima dan PSSI sebagai pihak pemberi yang mentransfer langsung ke rekening Sa’dan dan Simon.
“Sementara klien kami adalah orang yang menerima pembayaran piutang dari panitia AWSC dan itupun masih ada sisa sebesar Rp 1.920.000.000, pinjaman yang belum terbayar dari panitia kepada klien kami, sebenarnya klien kami merupakan korban dalam hal ini”. (IA)



