BANDA ACEH — Pernyataan Ketua DPW Partai NasDem Aceh Teuku Taufiqulhadi bahwa posisi Direktur Utama (Dirut) Bank Aceh Syariah menjadi hak orang Aceh dan harus diisi oleh putra daerah, menuai kritikan.
Pernyataan tersebut dinilai hanya asal bunyi alias Asbun karena, seharusnya dalam pengisian Dirut atau direksi sebuah bank itu yang terpenting adalah profesional bukan asal daerah.
“Jadi jangan Asbun. Dirut Bank itu yang paling penting adalah profesional, bukan asal daerah,” kata Pengamat Kebijakan Publik Aceh Dr Nasrul Zaman ST MKes, Senin (16/1/2023).
Menurutnya, soal siapa yang harus menjadi Dirut Bank Aceh Syariah jangan terus diperdebatkan dalam konteks Aceh atay non Aceh.
Harusnya perdebatan tersebut bergerak pada arah yang lebih kontekstual yaitu soal profesionalisme, integritas, inovatif dan kreatifitas membangun layanan baru maupun menghadirkan layanan terbaik.
“Kita sangat menyayangkan banyak tokoh Aceh malah berdebat pada hal yang tidak penting, padahal Bank Aceh itu merupakan perusahan yang terukur dan transparan karena ada kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia dalam pengelolaan good corporate governance-nya,” sebutnya.
“Kita harus melihat bahwa siapapun bisa menjadi Dirut Bank Aceh baik dari dalam maupun dari luar Aceh selama mampu menuhi tantangan dan menjawab kebutuhan pelanggan atas segala jenis dan model layanan perbankan,” tambahnya.
Apalagi sistem rekrutmen seluruh calon Dirut perbankan baik bank daerah maupun bank nasional selalu dilakukan terbuka untuk memberi kesempatan pada seluruh anak bangsa Indonesia berkonstribusi membangun perbankan yang unggul dan kompetitif.
Nasrul Zaman juga mempertanyakan, kalau mengharuskan Dirut Bank Aceh Syariah itu harus orang Aceh, apakah juga setuju kalau anak Aceh yang terbaik tidak bisa menjadi Dirut bank di daerah lain?
“Ini pertanyaan mendasar ketika era globalisasi dan transparansi menjadi ruh manajemen setiap organisasi tidak tercuali perbankan,” pungkasnya.
Sebelumnya, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai NasDem Aceh Teuku Taufiqulhadi membuat pernyataan bahwa posisi Dirut Bank Aceh Syariah selayaknya dapat diisi oleh putra Aceh sendiri, bukan mereka yang berasal dari orang luar daerah.
Jika sampai untuk Dirut Bank Aceh Syariah nantinya dijabat oleh orang luar, maka hal itu sama saja dengan mempermalukan dan menampar wajah orang Aceh.
Teuku Taufiqulhadi menjelaskan, sebagai orang Aceh, dirinya tidak bisa membayangkan bagaimana pendapat orang, di bumi yang telah mempraktekkan syariat Islam bertahun-tahun, ada asumsi bahwa tidak ada satupun putra Aceh memiliki kemampuan untuk memimpin sebuah bank syariah yang sederhana tersebut.
Itu sungguh tidak masuk akal. Soal profesionalitas, bankir dari Aceh juga bertebaran di mana-mana. Mereka sangat profesional.
Maka jika kemudian posisi Dirut Bank Aceh Syariah itu diberikan kepada orang luar, maka itu bisa menampar muka orang Aceh semua.
“Apa kata orang terhadap kita, sebuah provinsi yang menerapkan syariat Islam tidak paham Bank Aceh yang bersyariah,” kata Teuku Taufiqulhadi dalam pernyataannya, Ahad (15/1).
Oleh sebab itu, Taufiqulhadi berharap, masalah Dirut BAS ini jangan menempatkan orang Aceh pada posisi bertanya-tanya lagi, apakah putra Aceh yang ditunjuk atau membawa orang lain ke sini. Dirut BAS itu, menurut Taufiqulhadi, adalah hak putra Aceh sendiri.
Lebih lanjut Teuku Taufiqulhadi mengatakan, jika Pj Gubernur adalah orang Aceh, maka ia akan mencari cara agar putra Aceh lah yang menjadi Dirut Bank Aceh Syariah, bukan orang dari luar.
“Saya tidak yakin, dari jutaan orang Aceh tersebut tidak satupun yang memenuhi kualifikasi, baik dari segi profesionalitas maupun pemahaman syariah,” kata Taufiqulhadi.
Namun, karena Pj Gubernur Aceh bukan orang Aceh, maka komitmen ini mungkin tidak ada pada beliau. Ia tidak memiliki beban untuk membawa orang luar jadi Dirut Bank Aceh Syariah.
“Kalau ada komitmen, ia akan mencari cara dan mencari dasar untuk menjadikan orang Aceh sebagai Dirut Bank Aceh Syariah,” pungkasnya. (IA)



