Oleh: Muhammad Nasir Djamil*
KARENA kebiasaan orang-orang Quraisy (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan panas. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (pemilik) rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa takut. (Surah Quraisy ayat 1-4).
Aceh adalah daerah kaya sumber daya alam yang penuh dengan pergolakan. Mulai dari masa kolonialisme hingga ke orde reformasi, daerah yang memiliki julukan “Serambi Mekkah” ini mengalami gejolak yang menghabiskan sumber daya, baik manusia maupun sosial dan intelektual.
Meskipun kalah perang dengan Belanda, Aceh tak pernah mengakui kekalahan apalagi menyerah. Sebelum dan sesudah kemerdekaan Indonesia, rakyat Aceh telah mengerahkan dan menyerahkan harta dan jiwa sehingga dijuluki “Daerah Modal”.
Begitupun “pemberontakan” terhadap republik ini juga terjadi di era Soekarno dan Soeharto hingga Soesilo Bambang Yudhoyono. Aktor utamanya adalah Allahyarham Teungku Muhammad Daud Beureu’eh dengan DI/TII-nya dan Teungku Hasan Tiro dengan Gerakan Aceh Merdeka-nya.
Antiklimaks pergolakan itu ada di tahun 2005, setahun setelah Aceh dihantam gempa besar dan gelombang tsunami.
Perjanjian Damai Helsinki (baca: Finlandia) antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia. GAM diwakili oleh Malik Mahmud Al Haythar dan Indonesia oleh Hamid Awaluddin (Menteri Hukum dan HAM RI saat itu).
Tanggal 15 Agustus 2005-15 Agustus 2024 adalah 19 tahun usia Perjanjian Damai Helsinki. Ingatan kolektif rakyat Aceh tidak pernah hilang karena konflik bersenjata sebelum damai telah menyebabkan penderitaan kemanusiaan yang sangat parah.
“Aceh Bersimbah Darah”, adalah salah satu buku yang memuat historikal peristiwa dan korban manusia yang diculik, diperkosa dan terpaksa melarikan diri dari kampung halaman karena dianggap “cuak” dan bagian dari GAM.
Saat Aceh porak-poranda akibat gempa dan tsunami dan lalu seluruh negara mengulurkan tangan dan memberi bantuan, maka ada dua lembaga penting yang hadir saat itu, yakni Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) dan Badan Reintegrasi Aceh (BRA).
BRR memulihkan infrastruktur selama lima tahun dan BRA diharapkan menghadirkan tatanan sosial yang tanpa diskriminasi.
Seperti tahun-tahun sebelum, tahun ini peringatan 19 tahun Damai Aceh juga kembali berlangsung. Tentu saja dalam balutan yang semakin sederhana dan kurang kreatifitas.
Publik seolah-olah “dipaksa” melupakannya dan peringatan itu hanya dimaknai untuk sekelompok orang. Apalagi belakangan ini muncul berita ada korupsi di BRA.
Maka pesimis dan skeptis pun diarahkan ke lembaga yang mayoritas diisi oleh mantan kombatan itu. Pertanyaannya apakah peringatan damai Aceh itu masih relevan diperingati?.
Mengapa peringatan itu makin sepi dan seolah diacuhkan oleh Pusat dan masyarakat? Apa benar peringatan itu kini hanya menjadi “gawean” kelompok tertentu?.
Seperti apa sebenarnya peringatan damai Aceh itu agar tidak hanya seremonial tapi menukik ke substansial sehingga damai tidak hanya di baliho, spanduk, dan poster melainkan ada dalam pikiran dan tindakan kolektif rakyat Aceh dan seluruh pemangku kepentingan yang ada di dalamnya.
Konflik, baik itu non bersenjata atau bersenjata merupakan potret buram dan kelam dalam kehidupan berbangsa bernegara. Rasa senasib dan sepenanggungan adalah dua hal yang mempersatukan suku bangsa sehingga kita bernama Indonesia.
Karena itu, ketika di daerah muncul gerakan ingin memisahkan diri dengan NKRI, maka pendekatan keamanan selalu tidak pernah efektif untuk meredam dan menghabisinya.
Hingga saat ini Organisasi Papua Merdeka (OPM) masih bergerilya dan melakukan pembunuhan, penculikan, dan pembakaran fasilitas umum. Meskipun sempat dilabel kelompok teroris, OPM masih belum mati.
Damai Aceh melahirkan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki dan UU Nomor 11 Tahun 2006 Pemerintah Aceh (UUPA). Undang-undang khusus tentang Aceh adalah cita bersama untuk menghadapi masa depan.
Membagi kewenangan dan kepemilikan properti dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum sebagaimana amanat Konstitusi.
UUPA adalah jalan keselamatan dan ingin mewujudkan keamanan yang menjadi prasyarat dalam menyelenggarakan tata kelola pemerintahan yang baik.
Namun usai damai terbentang, tatanan sosial yang tertib belum mampu direalisasikan oleh setiap kepemimpinan dari masa ke masa.
Sembilan belas tahun usia perdamaian, belum menjadikan Aceh sebagai daerah yang unggul dan memberikan lapangan kerja dan kesejahteraan untuk rakyatnya.
Semua berjalan secara alami tanpa sentuhan yang berarsitektur dari penyelenggara pemerintah.
Memang politik tetap berjalan, perekonomian diselenggarakan, aktivitas keagamaan, sosial dan budaya tak absen dibicarakan dan dimainkan di atas pentas.
Tapi adegan-adegan sosial kemasyarakatan itu berjalan seperti orkestra tanpa dirigen yang memandunya. Lalu apa yang salah sehingga media sosial menjadi tempat “pergunjingan sosial” dan warung-warung kopi kadang menjadi arena “relaksasi” menuangkan kegelisahan dan nestapa Nanggroe endatu.
Damai yang diperingati setahun sekali itu ternyata belum menjadi menara air yang menghidupi. Kesalahannya karena kepemimpinan politik yang naik di atas panggung kekuasaan belum mampu mendengar dan menyediakan kebutuhan mayoritas rakyat yang kehidupannya masih moral-marit.
Kepemimpinan transformasional yang menjalankan agenda perubahan, kata orang Aceh “lage ta preh boh ara hanyot” (seperti menunggu buah ara hanyut). Jangan tanya ke saya seperti apa bentuk dan rasa buah ara itu. Tapi yang pasti kiasan itu adalah ungkapan penantian yang tak kunjung datang.
Momentum 19 tahun Damai Aceh bertepatan dengan akan berlangsungnya kontestasi pemilihan kepala daerah pada bulan November yang akan datang. Pilkada serentak di seluruh penjuru negeri ini adalah kabar optimis sekaligus pesimis.
Bagi kaum optimis, para kontestan yang terpilih nanti diharapkan menjadi perawat damai yang handal. Damai bukan berarti tidak ada konflik. Bagi Aceh, peringatan damai adalah cara untuk mengutuk ketidaknyamanan dan dehumanisasi.
Karenanya kepemimpinan yang transformasional mampu menjawab dan mengisi damai dengan merealisasikan harapan rakyat Aceh. Benar tak ada konflik bersenjata lagi, tapi bagaimana dengan konflik sumber daya alam antara Pusat dan daerah, antar kelompok masyarakat dan juga sesama masyarakat dalam kelompok yang sama.
Lalu konflik horisontal, konflik antar komunitas, antar etnis, antaragama, dan kelompok politik, serta mencegah hadirnya kembali konflik vertikal berupa separatisme.
Damai Aceh sudah mendekati dua dasawarsa. Jika sebelum damai, faktor keamanan menjadi alasan sentral tidak sempurnanya agenda pembangunan. Memang begitulah kenyataannya. Bagaimana bisa hidup normal karena masyarakat selalu berjalan di lorong-lorong ketakutan.
Karena itu, percepatan pembangunan harus dikebut setelah damai. Dengan jalan apa? Saya menawarkan “Revolusi Harapan”, bukan evolusi dan transformasi. Hal ini agar damai bisa dikelola dengan baik dan merealisasikan harapan setiap orang.
Istilah “Revolusi Harapan” saya pinjam dari Erich Fromm, seorang psikologi sosial, psikoanalis, humanis dan penganut mazhab sosialis demokrat. Istilah itu diterjemahkan dari bukunya “The Revolution of Hope”.
Saya memang sengaja “mencatut” nama “Revolusi Harapan” karena itu yang kini dibutuhkan oleh rakyat Aceh. Mereka sepertinya sudah jenuh dengan peringatan damai yang sarat dengan seremonial.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), revolusi adalah perubahan cukup mendasar dalam suatu bidang. Revolusi juga bisa diartikan suatu perubahan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat.
Dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat dan atau tanpa direncanakan. Dapat dan atau tanpa jalan kekerasan. Tentu kita memilih dengan direncanakan dan tanpa kekerasan. Revolusi harapan adalah jalan untuk memanusiakan manusia dan mencegah manusia berdiri di ambang pintu neraka.
Revolusi harapan membutuhkan revolusioner yang visioner, cerdas, orator, dan berempati dengan apa yang terjadi di tengah masyarakatnya. Para revolusioner harapan adalah mereka yang merawat damai dengan pengaruh dan kuasa yang bersumber dari amanah rakyat.
Saya yakin sangat banyak daftar inventarisasi harapan yang dibutuhkan rakyat Aceh agar mereka bisa lebih unggul, maju dan makmur.
Revolusioner harapan kini memang sedang ditunggu seperti umat akhir zaman menunggu Imam Mahdi. Revolusioner harapan ini ingin menghalau rakyat Aceh ke jalan pembebasan, menuju masyarakat yang terintegrasi bukan masyarakat yang dimanipulasi, mengajak berlari menuju arah yang sama bukan arah yang berbeda-beda.
Alhasil memang seperti yang sering kita dengar bahwa kita menjadi matang melalui pengalaman dan disebut dewasa melalui pembelajaran. Tidak masalah bagaimana kita melihat, tetapi bertindak, bagaimana kita menerima, tetapi memahami, bagaimana kita mengingat, tetapi menciptakan kembali karena usia hanyalah angka.
Surah Quraisy yang saya kutip di awal tulisan ini adalah prinsip dasar jalan menuju revolusi harapan. Aceh yang bersandar pada syariat Islam yang moderat, mempercepat pembangunan ekonomi guna menghadirkan kesejahteraan, dan mewujudkan keamanan dan ketertiban melalui penerapan sistem peringatan dini konflik.
Pengembangan sistem peringatan dini itu diimplementasikan melalui upaya preventif agar konflik tidak menjadi kekerasan dan berujung perdamaian.
Jika tidak terjadi, maka peringatan damai hanya seperti memadamkan kebakaran. Kita pun akhirnya memaknai peringatan damai setiap tanggal 15 Agustus hanya sebatas angka semata, bukan tanpa angka. Wallahu a’lam
*Penulis adalah Anggota Komisi III DPR RI



