Infoaceh.net – Nama Ayesha Farooq, pilot wanita berjilbab dari Angkatan Udara Pakistan, mendadak viral dan menjadi sorotan publik di berbagai platform media sosial. Ia disebut-sebut sebagai sosok di balik keberhasilan militer Pakistan menembak jatuh pesawat tempur Rafale milik India dalam sebuah insiden yang memanaskan kembali hubungan dua negara bertetangga tersebut.
Dalam laporan yang beredar, Angkatan Udara Pakistan diklaim telah menjatuhkan lima pesawat tempur India, terdiri dari tiga Dassault Rafale, satu MiG-29, dan satu Su-30MKI. Meskipun belum ada konfirmasi resmi bahwa Ayesha adalah pilot yang melakukan serangan tersebut, namanya tetap melejit dan menjadi simbol kebanggaan nasional.
Dari Bahawalpur Menuju Langit Perbatasan
Ayesha Farooq berasal dari Bahawalpur, kota bersejarah di Provinsi Punjab, Pakistan. Ia merupakan satu-satunya perempuan dari 25 wanita yang menjalani pelatihan militer di Angkatan Udara Pakistan yang diperbolehkan terjun ke medan tempur, tepatnya sejak tahun 2013.
Bertugas di Pangkalan Mushaf, kawasan strategis di wilayah utara Pakistan, Ayesha menjalani rutinitas berat di tengah suhu ekstrem yang bisa mencapai 50 derajat Celcius. Meski bertubuh mungil dibanding rekan-rekan prianya, Ayesha dikenal tangguh dan disiplin dalam menjalankan tugas.
“Aku tak merasa ada perbedaan. Kami sama-sama menjalankan misi, melakukan latihan, dan menentukan presisi pemboman,” ungkapnya dalam sebuah wawancara saat masih berusia 26 tahun.
Mendobrak Tradisi, Melawan Ketidakpercayaan
Perjalanan Ayesha tidak mudah. Ia dibesarkan oleh seorang ibu tunggal tanpa latar belakang pendidikan formal. Ketika menyatakan keinginan bergabung dengan Angkatan Udara, sang ibu sempat menentangnya.
“Di masyarakat kami, perempuan biasanya tidak berpikir untuk melakukan hal-hal menantang seperti menerbangkan jet tempur,” tutur Ayesha mengenang masa-masa sulit itu.
Namun tekad dan semangat Ayesha tak goyah. Sejak kecil, ia sudah terinspirasi oleh sosok-sosok berseragam militer. Cita-cita itu makin kuat hingga akhirnya menjadi kenyataan.
“Bertahun-tahun kemudian, saya benar-benar mengenakan seragam itu dan terbang di langit,” katanya dalam wawancara bersama DW, 6 September 2013.
Menjadi Simbol Perlawanan dan Inspirasi Kaum Muda
Ayesha menyadari bahwa menjadi satu-satunya perempuan di lingkungan yang didominasi laki-laki membuat semua mata tertuju padanya. Ia harus bekerja dua kali lebih keras untuk membuktikan dirinya layak.
“Saya harus menunjukkan bahwa saya memahami persenjataan, teknologi jet, dan semua yang diperlukan untuk jadi pilot tempur. Saya tidak ingin dianggap hanya sebagai simbol,” ujarnya.
Namun, ia menegaskan bahwa Angkatan Udara Pakistan adalah institusi yang mengedepankan profesionalisme. “Prestasi adalah ukuran utama. Bukan jenis kelamin,” tegasnya.
Disiplin Tinggi dan Pelatihan yang Berat
Menjadi pilot tempur bukan sekadar prestise, tetapi tanggung jawab besar. Ayesha menjalani pelatihan fisik dan mental yang ketat sejak pagi buta hingga larut malam. Bahkan saat hari libur pun, mereka tetap menjalani latihan fisik dan permainan strategi untuk mempertajam insting dan ketahanan mental.
“Ini bukan pekerjaan kantoran. Ini soal nyawa, strategi, dan kecepatan berpikir dalam situasi tekanan tinggi,” ungkapnya.
Momen yang Tak Terlupakan
Pengalaman paling berkesan bagi Ayesha adalah saat menjalani penerbangan solo pertamanya. Baginya, itu adalah momen puncak yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata.
“Rasanya luar biasa ketika menyadari bahwa jet itu benar-benar dalam kendali saya,” tuturnya.
Kini, Ayesha tak hanya dikenal sebagai pilot tempur pertama dari Pakistan, tetapi juga sebagai inspirasi bagi ribuan gadis muda di seluruh negeri.
“Saya menerima banyak telepon dari gadis-gadis yang ingin menjadi seperti saya. Tapi yang membuat saya paling bahagia adalah ketika orang tua mereka juga mendukung. Itu pertanda perubahan besar sedang terjadi,” pungkasnya.



