Pidie, Infoaceh.net — Universitas Syiah Kuala (USK) kembali menegaskan komitmennya dalam menjaga kelestarian lingkungan dengan mendorong penguatan Hutan Adat Mukim sebagai benteng terakhir penyelamatan rimba Aceh.
Komitmen ini disampaikan dalam kegiatan temu ramah dan diskusi bersama tokoh masyarakat serta perangkat Mukim di Kecamatan Padang Tiji, Kabupaten Pidie, akhir pekan lalu.
Dalam kegiatan tersebut, tim peneliti dari Fakultas Hukum USK memaparkan hasil survei dan pendekatan pengembangan model pengelolaan Hutan Adat yang melibatkan langsung masyarakat adat sebagai pengelola utama.
Penguatan ini dinilai penting mengingat hutan-hutan Aceh terus mengalami tekanan akibat deforestasi, perambahan, dan konflik pengelolaan.
Peran Strategis Masyarakat Adat
Hutan Adat Mukim adalah kawasan hutan yang dikelola berdasarkan sistem hukum adat yang hidup dalam masyarakat mukim — satuan komunitas adat khas Aceh yang terdiri dari beberapa gampong (desa). Selama berabad-abad, sistem mukim telah terbukti mampu menjaga kelestarian hutan melalui aturan adat, sanksi sosial, dan kearifan lokal.
Ketua Tim Survei Model Pengelolaan Hutan Adat dari Fakultas Hukum USK, M Adli Abdullah, menyatakan masyarakat adat Aceh memiliki nilai-nilai dan praktik pengelolaan hutan yang selaras dengan prinsip pelestarian dan keberlanjutan.
“Pengelolaan hutan oleh masyarakat adat bukan hanya soal menjaga ekosistem, tetapi juga menjadi sumber penghidupan. Hasil hutan non-kayu seperti madu, rotan, tanaman obat, dan bahan kerajinan merupakan kekayaan yang terus dimanfaatkan secara lestari,” ujar Adli.
Legalitas yang Diperkuat Negara
Menurut Adli Abdullah, posisi hukum Hutan Adat Mukim kini semakin kuat.
Hal ini ditandai dengan pengakuan resmi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menetapkan delapan komunitas Masyarakat Hukum Adat (MHA) di Aceh pada 7 September 2023.
“Pengakuan ini menjamin hak masyarakat adat untuk mengelola hutan mereka secara mandiri dan bebas dari intervensi pihak luar, termasuk pemerintah dan korporasi,” jelasnya.
Lebih lanjut, Adli menjelaskan bahwa keberadaan keputusan presiden dan pengakuan KLHK menjadi landasan hukum yang kokoh dalam memperjuangkan keberlanjutan Hutan Adat Mukim.
Luas dan Persebaran Hutan Adat Mukim
Sementara itu, Ketua Tim Peneliti Hutan Adat USK, Teuku Muttaqin Mansur, menyampaikan luas total Hutan Adat Mukim yang telah didokumentasikan di tiga kabupaten, yakni Bireuen, Pidie, dan Aceh Jaya, mencapai 22.549 hektare.
“Hutan ini bukan hanya kawasan konservasi, tapi juga representasi nilai budaya, spiritualitas, dan identitas masyarakat Aceh,” ungkapnya.
Mitigasi perubahan iklim, perlindungan keanekaragaman hayati, dan keberlanjutan ekonomi lokal menjadi manfaat langsung dari keberadaan Hutan Adat Mukim.
Anggota tim peneliti lainnya, Sulaiman Tripa, menambahkan sebelum adanya pengakuan formal dari KLHK dan Presiden, keberadaan Hutan Adat Mukim seringkali diragukan legalitasnya. Masyarakat adat kerap dianggap sebagai “pengguna ilegal” meski mereka telah turun-temurun menjaga kawasan tersebut.
“Kini, dengan adanya pengakuan resmi, masyarakat adat dapat berdiri di atas haknya. Ini bukan hanya pengakuan administratif, tapi bentuk penghormatan terhadap sejarah dan jasa mereka menjaga hutan,” tegas Sulaiman.
USK menegaskan pelibatan akademisi, pemerintah daerah, lembaga adat, dan masyarakat sipil sangat penting untuk mendorong tata kelola hutan yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Hutan Adat Mukim bukan hanya tanggung jawab adat, melainkan aset kolektif yang harus dijaga bersama.
Dalam pertemuan tersebut, berbagai pihak sepakat bahwa pengelolaan hutan berbasis adat perlu terus diperkuat dengan dukungan riset, regulasi, dan pendampingan teknis.
Selain sebagai pelindung ekologis, hutan adat juga menjadi penyangga ekonomi dan benteng sosial budaya masyarakat Aceh.
USK menyatakan akan terus berkomitmen mendukung masyarakat adat dalam merawat Hutan Adat Mukim sebagai warisan hidup yang harus dilestarikan.
Di tengah ancaman krisis iklim dan kerusakan lingkungan, keberadaan 22.549 hektare hutan adat ini menjadi harapan terakhir bagi rimba Aceh — dan mungkin, dunia.



