JAKARTA, Infoaceh.net –Harapan sebagian keuchik (kepala desa) di Aceh untuk memperpanjang masa jabatannya menjadi delapan tahun pupus sudah
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak seluruh permohonan uji materi Pasal 115 ayat (3) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang diajukan lima keuchik dari Aceh.
Dengan putusan ini, masa jabatan keuchik di Aceh tetap enam tahun dan hanya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya.
Putusan bernomor 40/PUU-XXIII/2025 ini dibacakan dalam sidang di Ruang Sidang MK, Kamis (14/8/2025), dengan agenda pembacaan putusan perkara pengujian konstitusionalitas UU Pemerintahan Aceh.
Lima keuchik asal Aceh—Venny Kurnia, Syukran, Sunandar, Badaruddin, dan Kadimin—menggugat Pasal 115 ayat (3) UU Pemerintahan Aceh yang berbunyi: “Gampong dipimpin oleh keuchik yang dipilih secara langsung dari dan oleh anggota masyarakat untuk masa jabatan 6 (enam) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya.”
Para pemohon menilai aturan ini tidak selaras dengan perubahan ketentuan nasional dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) yang telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2024.
Dalam UU Desa terbaru, masa jabatan kepala desa diperpanjang menjadi delapan tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.
Kuasa hukum para pemohon, Febby Dewiyan Yayan, menegaskan bahwa perubahan UU Desa berlaku secara nasional, termasuk Aceh, apalagi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Pemerintah Aceh telah menyatakan tidak keberatan melalui surat resmi.
Namun, pemberlakuan di Aceh terganjal karena UU Pemerintahan Aceh masih mengatur masa jabatan enam tahun.
“Pasal 115 ayat (3) UU Pemerintahan Aceh telah menghilangkan hak konstitusional para pemohon sebagaimana dijamin UUD 1945,” ujar Febby dalam sidang perdana pada 28 April 2025.
Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menyampaikan, pengaturan masa jabatan keuchik di Aceh merupakan bagian dari kekhususan daerah sebagaimana diatur dalam UU Pemerintahan Aceh, sehingga tidak dapat serta-merta disamakan dengan ketentuan UU Desa.
Menurut MK, pembentuk undang-undang memiliki kewenangan untuk mengatur masa jabatan keuchik sesuai kebutuhan dan perkembangan masyarakat, sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945.
“Pengaturan mengenai masa jabatan kepala desa/keuchik sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk undang-undang sesuai tuntutan perkembangan, selama tidak bertentangan dengan konstitusi,” tegas Guntur.
MK juga menekankan pentingnya harmonisasi antarundang-undang melalui revisi UU Pemerintahan Aceh. Revisi ini diharapkan tidak hanya mengatur masa jabatan keuchik, tetapi juga memperkuat keistimewaan Aceh sesuai amanat Pasal 18B UUD 1945.
“Perubahan UU 11/2006 harus mempertimbangkan perkembangan masyarakat, demi meneguhkan keberadaan Aceh dalam bingkai NKRI,” ujar Guntur.
Putusan ini tidak diambil secara bulat. Hakim Konstitusi Arsul Sani menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion).
Menurut Arsul, untuk menjaga kesetaraan hak konstitusional para keuchik di Aceh dengan kepala desa di daerah lain, seharusnya MK mengabulkan permohonan dan menafsirkan masa jabatan keuchik menjadi delapan tahun, sama seperti ketentuan UU Desa terbaru.
“Masa jabatan keuchik semestinya mengikuti pengaturan kepala desa secara nasional, agar tidak terjadi perlakuan berbeda yang tidak beralasan,” kata Arsul.
Dengan putusan ini, sekitar 1.911 keuchik di Aceh yang masa jabatannya akan berakhir pada Desember 2025 tetap akan mengacu pada aturan masa jabatan enam tahun.
Perubahan hanya bisa terjadi jika DPR RI bersama pemerintah merevisi UU Pemerintahan Aceh.
Putusan MK juga menegaskan bahwa ketentuan Pasal 115 ayat (3) UU Pemerintahan Aceh tidak bertentangan dengan prinsip persamaan kedudukan di hadapan hukum, prinsip kepastian hukum yang adil, dan prinsip non-diskriminasi sebagaimana diatur dalam UUD 1945.



