Oleh: Boy Firdaus*
UNIVERSITAS Syiah Kuala (USK) adalah perguruan tinggi kebanggaan masyarakat Aceh, berdiri sejak tahun 1961, kini berstatus Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH)) sesuai PP No. 38/2022.
Status ini memberi mandat kepada USK untuk mengelola akademik dan non-akademik secara otonom, termasuk urusan pengadaan barang dan
jasa, tentu dengan berpedoman pada regulasi negara.
Namun belakangan, publik Aceh dijejali opini-opini liar dari seorang bernama Teuku Abdul Hanan yang mengaku sebagai “pemerhati pengadaan”.
Judul-judul tulisannya bombastis: “USK: Universitas Suka Kontrak Kosong”, “Ketika Rektor Jadi Raja”, hingga “Skandal Proyek FKIP Cacat Hukum”.
Retorikanya keras, tapi apakah faktanya lurus? Mari kita bongkar.
Kasus inti adalah pemutusan kontrak CV. Jurongme Company pada proyek pembangunan
Gedung FKIP Tahap II. Pemutusan kontrak bukan tindakan sewenang-wenang, melainkan konsekuensi hukum atas wanprestasi.
PPK sudah memberi 3 kali surat peringatan. Sudah dilakukan 3 kali Show Cause Meeting (SCM), melibatkan semua pihak.
Terbukti terjadi kontrak kritis: keterlambatan parah, tenaga kerja dan peralatan tidak memadai, hingga deviasi besar antara rencana dan realisasi.
Regulasi jelas: Perpres No. 12/2021, Peraturan Rektor USK No. 54/2023, hingga klausul kontrak SSUK—semuanya memberi dasar sah untuk pemutusan sepihak.
Jadi kalau kontrak diputus, itu
bukan drama, tapi hukuman sah karena gagal kerja.
Teuku Abdul Hanan menyebut kontrak pengawasan dengan CV. Sarena Consultant “fiktif”. Faktanya: kontrak tersebut jenis kontrak waktu penugasan (time-based contract).
Dalam hukum pengadaan, kontrak ini sah dan diatur Perpres No. 12/2021 Pasal 27 ayat (4).
Pembayaran berbasis biaya personil dan non-personil, sesuai durasi dan laporan.
Semua personel yang dicantumkan diverifikasi PPK, lengkap dengan kualifikasi resmi.
Jadi, menyebut kontrak ini fiktif sama saja dengan menyebut matahari terbit dari barat. Itu
bukan kritik, itu ilusi hukum.
USK menerbitkan Peraturan Rektor USK No. 54/2023 untuk mengatur pengadaan barang/jasa yang dananya bukan dari APBN/APBD, sesuai PP No. 38/2022. Inilah mandat otonomi PTN-BH.
Menuduh peraturan ini tidak sah hanya karena tidak cocok dengan selera pribadi adalah
pelecehan intelektual.
Kalau semua aturan internal kampus dianggap ilegal, lalu mau pakai aturan warung kopi?
Fakta menarik: Teuku Abdul Hanan bukanlah pengamat independen. Ia pihak langsung dalam perkara.
Ia tercatat sebagai wakil direktur CV. Jurongme Company yang sedang menggugat USK.
Ia juga mendapat kuasa hukum dari CV. Jurongme Company untuk menyomasi USK.
Ia bahkan ikut tender proyek FKG Blok V, tapi kalah.
Jadi, menamakan diri “pemerhati” itu cuma kamuflase. Yang terjadi hanyalah pemain yang kalah
di meja tender lalu menggugat wasit dan menjelekkan panitia lewat opini publik di media.
Bayangkan sebuah pertandingan sepak bola. Tim Teuku Abdul Hanan kalah telak karena bermain buruk, tidak
patuh strategi, bahkan dapat kartu merah.
Setelah peluit panjang, bukannya introspeksi, ia malah menuduh wasit curang, panitia tidak sah, bahkan aturan FIFA salah.
Padahal semua orang di stadion tahu: kalah ya kalah. Jangan salahkan aturan hanya karena
gagal main.
Opini Hanan di media bukanlah kontrol sosial, tapi lebih mirip surat curhat orang kalah tender yang dibungkus jargon hukum. Publik jangan terkecoh.
USK tetap harus berpegang pada regulasi, menjaga transparansi, dan tidak perlu goyah oleh
opini yang lebih mirip serangan pribadi daripada kritik akademik.
Aceh butuh universitas kuat, bukan gaduh murahan.



