Oleh: Andi Armi*
Di Sabang, kota kecil yang kaya sejarah dan penuh pesona laut biru, ada cerita lain yang jarang disorot. Sebuah kisah getir tentang mereka yang bekerja di balik pembangunan jalan, jembatan atau gedung-gedung yang berdiri gagah.
Kisah tentang para pekerja konstruksi, yang peluhnya menetes di bawah terik matahari, namun keselamatan dan hak sosial mereka tak lebih dari sekadar formalitas di atas kertas.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja atau disebut K3 serta BPJS Ketenagakerjaan, dua kata yang seharusnya menjadi tameng, menjadi “imun” bagi para buruh harian yang bergulat dengan risiko kecelakaan setiap detik.
Namun di kota ini, kuat dugaan keduanya justru telah dipreteli maknanya, diturunkan derajatnya, hingga hanya menjadi simbol belaka. Sebuah prasyarat administrasi, bukan komitmen moral.
Kontraktor yang memenangkan tender pemerintah seakan paham benar bagaimana cara “menyulap” aturan.
Dokumen K3 dan bukti kepesertaan BPJS bisa dengan mudah dipajang dalam berkas penawaran, lalu dikunci rapi dalam map.
Tetapi setelah kontrak diteken, setelah alat berat mulai meraung, nasib para pekerja dibiarkan melayang tanpa jaring pengaman.
Mereka seolah hanya menjadi bidak di papan catur, siap dikorbankan kapan saja demi fulus yang lebih besar.
K3, dalam praktiknya, hanyalah helm plastik murahan yang dipinjamkan seadanya. Sepatu safety sering kali tak pernah sampai di kaki para pekerja.
Alat pelindung diri hanya muncul saat ada kunjungan pengawas atau ketika kamera dokumentasi proyek diangkat untuk mencatat “bukti kepatuhan”.
Setelah itu, semua kembali pada kebiasaan lama bekerja dengan tangan kosong, berhadapan dengan mesin, besi, dan beton tanpa perlindungan.
Lalu BPJS Ketenagakerjaan hak yang mestinya mengikat pekerja dengan jaminan sosial lebih mirip tanda ceklis dalam formulir.
Seolah kehadirannya hanya sebatas lembaran kertas bukti iuran yang diprint untuk memuluskan pencairan dana proyek.
Di lapangan, kuat dugaan banyak pekerja bahkan tak tahu apakah namanya benar-benar terdaftar. Mereka diduga tidak memegang kartu peserta, tidak tahu manfaat, tidak pernah mendapatkan penjelasan tentang klaim.
Ironisnya, jika kecelakaan menimpa, maka mereka akan pulang dengan luka dan beban, bukan santunan atau perlindungan.
Fenomena ini memperlihatkan wajah buram pengusaha jasa konstruksi yang seakan-akan lebih setia pada keuntungan daripada pada nurani.
Dalam benak mereka, angka di atas laporan keuangan jauh lebih penting ketimbang keselamatan nyawa manusia.
Mereka menutup mata bahwa setiap helm yang absen, setiap harness yang tak dipasang, setiap pekerja yang tak terlindungi BPJS adalah potensi tragedi yang bisa menghantam kapan saja.
Negara melalui regulasi demi regulasi sudah tegas Keselamatan Kerja yang mana setiap pengusaha wajib menjamin keselamatan tenaga kerja dengan menyediakan alat pelindung diri, mengamankan tempat kerja, serta melakukan pengawasan ketat terhadap kondisi kerja.
Artinya, pengabaian terhadap K3 bukan hanya pelanggaran moral, tetapi juga pelanggaran hukum.
Lebih jauh, Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS juga jelas ada kewajiban dari pengusaha memberikan jaminan sosial kepada pekerja.
“Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada BPJS sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti.”
Jika kewajiban ini tidak dijalankan, maka pemberi kerja dapat dikenai sanksi administratif hingga pidana penjara kurungan 8 tahun penjara dan denda Rp1 miliar. Bahkan negara juga mengikatnya dengan aturan regulasi sehingga perusahaan tidak mendapatkan pelayanan publik tertentu.
Regulasi hanyalah regulasi, walaupun ancaman serius akan diabaikan. Apalagi jika ada oknum-oknum pengusaha yang mengandalkan “backing” sehingga seolah-olah memngangkangi regulasi merupakan hal yang biasa.
Walaupun penyedia jasa konstruksi, wajib mendaftarkan seluruh tenaga kerjanya dalam program BPJS Ketenagakerjaan.
Tidak ada alasan untuk menunda atau mengabaikan kewajiban tersebut.
Namun aturan-aturan itu seakan kehilangan daya gigit ketika berhadapan dengan budaya “asal beres administrasi”.
Apalagi jika pengawasan dari pihak pemerintah lebih sering berhenti di meja tanda tangan, bukan di medan proyek.
Di titik inilah, kota Sabang sedang mempertontonkan ironi. Di satu sisi, ia sedang membangun diri untuk tampil cantik di mata wisatawan, dengan proyek-proyek infrastruktur yang dipoles demi wajah pariwisata.
Tetapi di sisi lain, ia membiarkan pekerja yang membangun semua itu bekerja dalam kondisi rapuh, tanpa jaminan sosial yang seharusnya melekat.
Betapa paradoksnya: yang dipoles adalah tembok, bukan martabat manusia.
Sastra kehidupan pekerja ini sesungguhnya adalah puisi getir. Lihatlah bagaimana keringat mereka jatuh tanpa pernah dihitung sebagai investasi kesejahteraan.
Dengarlah suara palu dan bor yang mengiringi pekerjaan mereka, bagai mantra kesetiaan yang tak pernah dihargai.
Mereka adalah “pejuang rupiah” yang seharusnya dilindungi, tetapi justru ditelantarkan.
Jika fenomena ini dibiarkan, maka K3 dan BPJS akan terus membusuk menjadi sekadar jargon. Ia hanya akan dipanggil ketika berkas tender diminta, lalu dikubur kembali ketika pekerjaan dimulai.
Dan di tengah proses itu, pekerja tetap menjadi pihak yang paling rentan: yang menanggung risiko tetapi tak pernah mendapatkan jaminan.
Maka, pertanyaan yang patut diajukan: sampai kapan kita rela menjadikan keselamatan kerja hanya simbol? Sampai kapan pemerintah tutup mata, seolah-olah pengawasan hanya tugas seremonial?
Dan sampai kapan pengusaha menganggap nyawa pekerja tak lebih berharga daripada selembar kuitansi?
Opini ini tidak sedang membidik satu-dua kontraktor tertentu. Ia sedang mengingatkan, sebuah kota yang ingin berdiri megah tidak boleh dibangun di atas pengabaian hak asasi pekerjanya.
Infrastruktur tidak bisa disebut “maju” jika darah dan keringat buruhnya tidak pernah dihargai.
Sabang, dengan segala keindahannya, seharusnya juga dikenal sebagai kota yang adil bagi para pekerja. Kota yang menjunjung tinggi keselamatan kerja, bukan sekadar mempercantik wajahnya dengan cat warna-warni sementara tulang-tulang buruhnya terabaikan.
Kota yang memahami pembangunan sejati adalah ketika manusia di dalamnya dilindungi, bukan hanya beton dan jalan yang berdiri gagah.
Jika tidak, maka setiap gedung yang berdiri hanya akan menjadi monumen sunyi, mengingatkan kita bahwa di balik kemegahan itu ada hak-hak yang diabaikan, ada perlindungan yang ditukar dengan keuntungan, dan ada manusia yang diperlakukan sebagai simbol semata.
*Penulis adalah Penasihat PWI Kota Sabang, lulus UKW tahun 2012



