Banda Aceh, Infoaceh.net – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didesak mengusut tuntas dugaan penyimpangan dalam proyek Pokok-pokok Pikiran (Pokir) anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di Aceh.
Praktik pengelolaan Pokir yang selama ini berjalan disebut rawan menjadi ladang korupsi, dengan dugaan adanya fee proyek mencapai 30 hingga 40 persen.
Koordinator Transparansi Tender Indonesia (TTI) Nasruddin Bahar, mengatakan pihaknya mengapresiasi langkah KPK yang baru-baru ini mengirimkan surat resmi kepada seluruh kepala daerah di Aceh, termasuk Gubernur Aceh.
Surat tersebut berisi permintaan agar pimpinan daerah menyerahkan data terkait paket proyek yang bersumber dari Pokir dewan, proyek strategis daerah, hingga program hibah dan bantuan sosial.
Menurut Nasruddin, langkah KPK itu merupakan wujud transparansi sekaligus upaya memperkuat pengawasan terhadap penggunaan anggaran publik.
Ia menilai, proyek-proyek Pokir selama ini banyak bermasalah, karena sering kali tidak sesuai dengan mekanisme perencanaan pembangunan yang seharusnya melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang).
“Pokir dewan umumnya bukan berasal dari aspirasi masyarakat yang dibawa lewat Musrenbang. Sebaliknya, itu murni inisiatif anggota dewan. Maka wajar bila KPK perlu mendalami asal-usul lahirnya proyek Pokir tersebut,” ungkap Nasruddin, Senin (25/8/2025).
Modus Penyalahgunaan Pokir
Ia menjelaskan, pola yang kerap terjadi adalah anggota dewan menitipkan dana sesuai porsi yang disepakati berdasarkan jabatan masing-masing.
Dana tersebut kemudian diakomodir dalam program dinas terkait, yang selanjutnya disahkan dalam rapat paripurna DPR bersamaan dengan pengesahan APBK/APBA.
“Setelah program dilegalkan, anggota dewan menunjuk koordinator untuk mengatur siapa saja rekanan yang mengerjakan proyek Pokir. Dari sinilah terjadi praktik penyalahgunaan wewenang,” terangnya.
Nasruddin mengungkapkan, hampir semua dinas di Aceh tidak luput dari intervensi Pokir.
Antara lain Dinas Pendidikan, Pertanian dan Perkebunan, Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Sosial, Perumahan dan Permukiman (Perkim), hingga Koperasi dan UMKM.
“Di banyak dinas, Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) tidak berani bergerak menunjuk rekanan tanpa persetujuan dewan pemilik Pokir. Ini sudah jadi rahasia umum di lapangan,” katanya.
Dugaan Fee 40 Persen
Lebih lanjut, Nasruddin menyoroti adanya isu cash back atau fee proyek yang kerap terjadi dalam pengelolaan Pokir.
Praktik ini, kata dia, menjadi salah satu bentuk nyata kebocoran anggaran negara.
“Fee proyek bisa mencapai 30 sampai 40 persen. Dana yang seharusnya masuk kembali ke kas negara justru mengalir ke kantong oknum-oknum tertentu. Ini jelas merugikan negara dan masyarakat luas,” tegasnya.
Ia menambahkan, kondisi tersebut membuat banyak proyek pembangunan yang bersumber dari Pokir tidak berjalan optimal. Kualitas hasil pekerjaan pun sering kali jauh dari harapan, karena anggaran sudah terpotong di awal melalui sistem fee tersebut.
Nasruddin berharap KPK benar-benar menindaklanjuti temuan dan laporan masyarakat terkait proyek Pokir di Aceh.
Ia menekankan surat KPK kepada kepala daerah jangan berhenti hanya sebagai formalitas, melainkan harus ditindaklanjuti dengan investigasi mendalam dan langkah hukum yang nyata.
“Jika KPK serius, saya yakin banyak penyimpangan yang bisa diungkap. Pokir ini sudah lama jadi persoalan, dan praktiknya semakin sistematis. Kalau dibiarkan, Aceh akan terus dirugikan dan rakyat yang menjadi korban,” pungkasnya.



