Banda Aceh, Infoaceh.net – Aceh dikenal sebagai salah satu daerah penghasil komoditas ekspor unggulan nasional, mulai dari kopi Gayo yang mendunia hingga Crude Palm Oil (CPO) yang menjadi andalan industri.
Namun, ironisnya, data ekspor dari Aceh kerap tidak tercatat untuk provinsi ini, melainkan masuk ke statistik daerah lain.
Akibatnya, Aceh seolah tidak berkontribusi besar terhadap perekonomian nasional, sementara provinsi lain yang justru menikmati kenaikan angka pertumbuhan.
Kepala Bidang Kepabeanan dan Cukai Kanwil Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Aceh, Asral Efendi, menegaskan bahwa persoalan tersebut terjadi karena masih banyak eksportir yang kurang teliti dalam mengisi Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB), terutama pada kolom Daerah Asal Barang.
“Kalau barang yang diproduksi di Aceh tidak ditulis berasal dari Aceh, otomatis datanya tercatat sebagai ekspor dari daerah lain. Dampaknya bukan hanya pada angka statistik, tapi juga pada perhitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Lebih jauh, Aceh bisa kehilangan hak atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Insentif Daerah (DID), maupun Dana Alokasi Khusus (DAK),” kata Asral dalam keterangannya, Senin (25/8).
Menurut Asral, kolom 53 pada PEB yang berisi Daerah Asal Barang wajib diisi sesuai dengan tempat barang diproduksi atau dihasilkan.
Ia memberi contoh, jika kopi berasal dari Kabupaten Gayo Lues, maka daerah asal yang dipilih haruslah Kabupaten Gayo Lues.
“Meskipun dokumen PEB disampaikan melalui pelabuhan di luar Aceh, asal barang tetap harus ditulis sesuai dengan daerah produksinya,” tegasnya.
Asral menjelaskan, nilai ekspor adalah salah satu komponen utama dalam perhitungan PDRB.
Jika data ekspor Aceh justru “lari” ke daerah lain, maka kontribusi ekonomi Aceh akan tampak jauh lebih kecil dari kondisi sebenarnya.
Hal ini tentu merugikan, sebab PDRB menjadi tolok ukur utama dalam menentukan besaran alokasi dana dari pusat, sekaligus menggambarkan kinerja pembangunan daerah.
“Kopi Gayo misalnya, sudah diakui dunia sebagai produk khas Aceh. Tapi kalau di PEB tidak tercatat berasal dari Aceh, maka statistik menunjukkan kontribusi kopi itu untuk daerah lain. Akibatnya Aceh rugi citra, rugi data, bahkan rugi potensi dana pusat,” ungkapnya.
Selain itu, ia menekankan, ketidakakuratan data juga dapat memengaruhi perumusan kebijakan pembangunan.
Data yang keliru membuat pemerintah pusat menilai potensi ekonomi Aceh lebih rendah dari kondisi riil, sehingga berimplikasi pada perencanaan program dan alokasi anggaran.
Untuk itu, Asral kembali mengingatkan seluruh eksportir agar lebih cermat dalam pengisian dokumen ekspor.
Ia menyebut, ketelitian dalam mengisi PEB tidak hanya soal kepatuhan administratif, tetapi juga soal menjaga identitas dan kepentingan ekonomi daerah.
“Provinsi lain bisa tampak seolah punya kontribusi besar, padahal barangnya dari Aceh. Jangan sampai Aceh bekerja keras menghasilkan komoditas ekspor, tapi keuntungan statistik dan dana justru lari ke daerah lain,” tegas Asral.
Ia menutup keterangannya dengan pesan singkat: “Jaga identitas daerahmu. Data ekspor akurat, potensi daerah terangkat.”
Dengan imbauan ini, Bea Cukai Aceh berharap para eksportir di seluruh kabupaten/kota lebih disiplin dalam mengisi PEB, sehingga kontribusi Aceh dalam perdagangan internasional benar-benar tercatat secara utuh dan memberikan manfaat maksimal bagi pembangunan ekonomi daerah.



