Banda Aceh, Infoaceh.net — Aksi unjuk rasa besar-besaran di halaman Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Senin (1/9/2025), berlangsung panas setelah Ketua DPRA, Zulfadli, melontarkan pernyataan mengejutkan yang mengguncang massa.
Awalnya, ribuan demonstran dari berbagai elemen masyarakat dan mahasiswa mengusung tujuh tuntutan utama.
Poin-poin itu antara lain: reformasi total DPR RI dan DPR Aceh, reformasi Polri, penuntasan seluruh pelanggaran HAM di Indonesia khususnya Aceh, penolakan pembangunan batalyon baru TNI di Aceh, evaluasi menyeluruh terhadap seluruh tambang di Aceh, pembebasan rekan-rekan mereka yang ditangkap saat aksi sebelumnya, serta transparansi penggunaan Dana Otonomi Khusus (Otsus) Aceh.
Namun, saat menemui massa di depan gerbang utama gedung dewan, Zulfadli menambahkan satu poin yang tak tercatat dalam daftar tuntutan resmi. Dengan suara lantang melalui pengeras suara, ia berkata:
“Aku minta satu lagi, pisah saja Aceh sama pusat (Jakarta). Tulis biar aku teken.”
Ucapan itu sontak memicu gelombang sorakan ribuan demonstran. Massa bersorak, mengepalkan tangan ke udara, dan meneriakkan yel-yel “Merdeka!” berkali-kali.
Sorakan menggema keras di halaman gedung dewan, seolah menghidupkan kembali retorika lama tentang Aceh merdeka yang selama ini dianggap meredup.
Sejak pagi, suasana aksi memang sudah dipanaskan dengan berkibarnya bendera Bintang Bulan di tengah kerumunan pendemo.
Simbol yang masih menjadi perdebatan politik itu diacungkan tinggi-tinggi sebagai tanda perlawanan terhadap kebijakan pemerintah pusat.
Pernyataan Zulfadli pun seakan menjadi bahan bakar tambahan yang membuat euforia massa semakin meledak.
Meski demikian, pernyataan Ketua DPRA itu tak sepenuhnya diikuti dengan sikap berani.
Seorang pendemo dari arah barisan depan yakni mahasiswa yang memakai seragam almamater UIN Ar-Raniry sempat menantang Zulfadli untuk mengibarkan bendera Bintang Bulan di samping tiang bendera merah putih yang berdiri kokoh di halaman gedung DPRA.
Tantangan serupa juga disampaikan oleh seorang pendemo masyarakat umum yang membawa bendera bulan bintang.
Namun, Zulfadli tak menanggapi tantangan itu. Ia memilih bungkam, dan hanya tersenyum sambil melambaikan tangannya kepada massa tanpa mengindahkan desakan pengibaran bendera yang bisa menimbulkan konsekuensi hukum serius.
Warga menilai langkah Zulfadli ini lebih seperti gertak sambal politik ketimbang komitmen serius untuk membawa Aceh ke jalan referendum.
Di satu sisi, pernyataan itu berhasil memantik semangat massa. Namun di sisi lain, ketidakberaniannya menindaklanjuti ucapan dengan simbol konkret justru membuat sebagian peserta aksi kecewa.
Kapolda Aceh Brigjen Pol Marzuki Ali Basyah bersama Kapolresta Banda Aceh Kombes Pol Joko Heri Purwono terlihat memantau langsung jalannya aksi dari halaman gedung.
Aparat kepolisian tampak siaga, namun tetap menahan diri menghadapi situasi yang semakin panas. Hingga sore hari, meski sempat memanas dengan sorakan dan dorongan massa, aksi tetap berlangsung tertib tanpa bentrokan berarti.
Seruan Zulfadli soal “pisah Aceh dari pusat” kini memunculkan pertanyaan besar di ruang publik. Apakah hal itu sekadar manuver politik di tengah tekanan massa, ataukah menjadi sinyal awal dari eskalasi baru relasi Aceh–Jakarta yang sejak lama dibayangi ketidakpuasan terhadap implementasi perjanjian damai Helsinki?.



