Banda Aceh, Infoaceh.net – Fenomena penggunaan jasa joki akademik di kalangan dosen untuk meraih gelar profesor mulai menjadi sorotan di Aceh.
Praktik yang awalnya dianggap sebagai “jalan pintas” untuk memenuhi syarat kenaikan jabatan akademik, kini berkembang layaknya jaringan gelap yang terselubung, bahkan ada yang menghubungkannya dengan jaringan lintas negara, termasuk Malaysia.
Informasi yang dihimpun Kamis (11/9/2025) dari salah satu kampus ternama di Aceh menyebutkan, sejumlah profesor diduga menggunakan jasa joki untuk menulis jurnal internasional bereputasi.
Padahal, publikasi ilmiah internasional adalah salah satu syarat utama untuk meraih jabatan profesor, selain sudah bergelar doktor dan memenuhi berbagai persyaratan administratif lainnya.
Lemah Bahasa Inggris Jadi Alasan Utama
Sumber internal kampus menjelaskan, salah satu faktor utama maraknya praktik joki adalah keterbatasan kemampuan bahasa Inggris. Tidak sedikit profesor yang kesulitan membaca, apalagi menulis artikel ilmiah berbahasa Inggris.
“Mereka akhirnya memilih jalan pintas dengan membayar joki untuk menulis jurnal. Dengan begitu, syarat formal bisa terpenuhi tanpa harus bersusah payah,” ungkap seorang dosen yang meminta namanya tidak dipublikasikan.
Ironisnya, biaya menggunakan jasa joki ini bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah, tergantung reputasi jurnal dan tingkat kesulitannya.
Bahkan, ada yang menggunakan jasa profesor dari Malaysia yang memang sudah terbiasa menulis di jurnal internasional.
Dampak Negatif: Marwah Akademik Tercoreng
Setelah berhasil menyandang gelar profesor, sejumlah oknum justru menunjukkan perilaku yang jauh dari semangat keilmuan. Ada yang gemar tampil di media dengan pernyataan yang tidak berbasis riset, bahkan cenderung bersifat opini pribadi tanpa landasan akademik.
Lebih memprihatinkan lagi, ada laporan bahwa sebagian profesor memanfaatkan posisinya untuk menekan mahasiswa, terutama mahasiswa yang memiliki latar belakang orang tua pejabat.
Mereka diduga memberikan perlakuan istimewa kepada mahasiswa tertentu, sementara mahasiswa biasa yang berasal dari kalangan menengah ke bawah justru diperlakukan diskriminatif.
“Kalau perilaku seperti ini dibiarkan, mahasiswa akan belajar bahwa dunia akademik juga bisa korup. Padahal, kampus seharusnya menjadi benteng moral dan pusat integritas,” ujar dosen tadi, yang menilai fenomena joki profesor sebagai ancaman serius bagi kualitas pendidikan tinggi.
Praktik joki di Aceh bahkan disebut-sebut sudah memiliki pola seperti sindikat narkoba: terorganisir, tertutup, dan melibatkan pihak lintas daerah bahkan lintas negara.
Ada yang beroperasi di Aceh, ada pula jaringan joki dari Malaysia. Sebagian di antaranya disebut sudah bergelar profesor atau akademisi senior yang memang terbiasa memproduksi artikel internasional.
“Fenomena ini bukan hanya persoalan individu, tetapi sudah menjadi semacam bisnis akademik gelap. Jika tidak dihentikan, akan lahir banyak profesor instan yang tidak punya integritas keilmuan,” tambah sumber lain.
Untuk memutus rantai praktik joki, sejumlah kalangan menilai perlu adanya perubahan aturan di tingkat nasional, khususnya Peraturan Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Permendikti Saintek) tentang kenaikan jabatan akademik.
Salah satu usulan yang mencuat adalah mewajibkan calon profesor menjadi keynote speaker pada seminar internasional sesuai bidang kepakarannya.
Tidak hanya sekali, tetapi secara berkelanjutan, minimal setiap tahun. Dengan begitu, seorang profesor benar-benar teruji kapasitas dan reputasi akademiknya di hadapan komunitas ilmiah global.
“Kalau syaratnya hanya publikasi jurnal internasional, maka joki bisa dengan mudah menyediakannya, asalkan ada uang. Tetapi jika harus menjadi pembicara utama di forum internasional, maka tidak bisa diwakilkan. Itu akan menguji langsung kompetensi dan integritas seorang akademisi,” tegas seorang akademisi di Banda Aceh.
Menjaga Marwah Akademik
Fenomena joki profesor di Aceh ini seharusnya menjadi alarm bagi seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Jabatan profesor adalah puncak karier akademik yang seharusnya hanya diberikan kepada mereka yang benar-benar mumpuni secara intelektual dan berintegritas tinggi.
Jika praktik joki terus dibiarkan, bukan hanya marwah akademik yang hancur, tetapi juga kepercayaan publik terhadap dunia pendidikan tinggi.
Pada akhirnya, hal ini bisa berimbas pada lahirnya generasi yang terbiasa melihat korupsi intelektual sebagai sesuatu yang lumrah.



