Banda Aceh, Infoaceh.net – Pemerintah Aceh resmi menggelontorkan dana hibah sebesar Rp29,3 miliar untuk 13 partai politik nasional dan lokal tingkat provinsi pada tahun anggaran 2025.
Kebijakan ini tertuang dalam Keputusan Gubernur Aceh Nomor 200.2/1020/2025.
Anggaran hibah diberikan kepada 13 partai politik yang meraih kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).
Meski sah secara hukum karena diatur dalam regulasi tentang pembiayaan partai politik, keputusan tersebut memunculkan berbagai pandangan dan kritik di tengah masyarakat.
Pasalnya, di saat anggaran publik menghadapi keterbatasan dan efisiensi, parpol justru “kebanjiran” dana hibah dari kas daerah.
Isa Alima: Dana Hibah Sah, tapi Harus Tepat Sasaran
Mantan anggota DPRK Pidie sekaligus pemerhati kebijakan publik Aceh, Isa Alima, menegaskan bahwa bantuan keuangan untuk parpol memang legal menurut undang-undang.
Namun ia mengingatkan, penggunaan dana ini jangan sekadar formalitas atau angka di atas kertas, melainkan benar-benar memberikan manfaat nyata bagi rakyat.
“Dana hibah untuk parpol sah menurut aturan. Besarannya pun tergantung kemampuan keuangan daerah. Yang lebih penting adalah bagaimana dana itu digunakan secara tepat sasaran. Jangan sampai hanya menjadi angka dalam dokumen, tapi tidak berbuah manfaat bagi rakyat,” tegas Isa Alima, Rabu (17/9/2025).
Menurut Isa, parpol seharusnya memperkuat peran sebagai penghubung antara masyarakat dan parlemen. Dengan adanya sokongan dana dari rakyat, kinerja wakil rakyat mestinya lebih berpihak kepada kepentingan masyarakat luas.
“Dana itu berasal dari rakyat. Maka wakil-wakil rakyat di parlemen harus betul-betul memperjuangkan suara masyarakat. Mereka harus menghadirkan solusi dan memberikan rasa aman serta nyaman dengan kinerja yang transparan,” tambahnya.
Isa mengingatkan, tanpa hibah pun, demokrasi akan terasa hampa jika wakil rakyat abai terhadap kepentingan rakyat.
Menurutnya, masalah bukan pada besaran hibah, melainkan pada sikap elit politik yang kerap tidak peduli terhadap persoalan masyarakat.
“Demokrasi akan terasa kosong ketika para wakil rakyat hanya diam, tidak bersuara, dan seolah tidak peduli pada penderitaan rakyat. Itu yang harus dihindari,” katanya.
Terkait nominal hibah yang mencapai Rp29,3 miliar, Isa menilai kenaikan anggaran sah-sah saja jika kondisi keuangan daerah memungkinkan.
Namun, pemerintah harus jeli membaca situasi, terutama di tengah tuntutan efisiensi dan keterbatasan anggaran untuk pelayanan publik.
“Kalau pun dinaikkan boleh saja, sepanjang disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah. Apalagi saat ini pelayanan publik pun menghadapi tantangan efisiensi. Jangan sampai masyarakat merasa terabaikan karena anggaran lebih banyak terserap untuk politik ketimbang kebutuhan dasar mereka,” ungkapnya.
Pada akhirnya, Isa menegaskan bahwa hibah kepada parpol adalah sebuah amanah rakyat. Jika dimanfaatkan dengan benar, dana itu bisa menjadi pupuk bagi tumbuhnya demokrasi di Aceh.
Namun jika disalahgunakan, justru bisa melukai hati rakyat yang sudah menitipkan mandat lima tahunan kepada wakilnya.
“Ini bukan sekadar dana, tapi amanah. Kalau digunakan benar, akan memperkuat demokrasi. Kalau disalahgunakan, justru melahirkan luka baru bagi rakyat,” tutupnya.



