Jakarta, Infoaceh.net – Kementerian Haji dan Umrah akan mengubah metode perhitungan kuota haji per provinsi agar sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2019.
Wakil Menteri Haji Dahnil Anzar Simanjuntak, menyatakan langkah ini akan menyamaratakan rata-rata masa tunggu haji nasional menjadi sekitar 26 hingga 27 tahun, sehingga tidak ada lagi provinsi yang harus menunggu hingga 40 tahun.
Selama ini, alokasi kuota antarprovinsi dinilai tidak sesuai dengan regulasi dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah berulang kali merekomendasikan pemerintah untuk mengevaluasi metode tersebut.
Wamen Dahnil menjelaskan bahwa Pasal 13 UU tersebut menetapkan kuota haji harus didasarkan pada jumlah penduduk muslim per provinsi dan/atau jumlah daftar tunggu (waiting list).
Dengan kembali ke dasar hukum ini, Wamen Dahnil optimis waktu tunggu haji akan lebih merata, meskipun akan ada provinsi yang kuota jemaahnya naik dan ada pula yang turun.
Di sisi lain, Menteri Haji dan Umrah, Mochammad Irfan Yusuf, mengonfirmasi bahwa pemerintah sedang meminta persetujuan DPR terkait pembagian kuota haji tahun ini, yang jumlahnya tetap 221 ribu orang—sama dengan tahun sebelumnya.
Pembagian kuota akan menggunakan pendekatan sistem antrean nasional untuk mewujudkan pemerataan.
Irfan Yusuf menekankan kebijakan ini bertujuan menciptakan keadilan dalam pemberangkatan haji, menghilangkan disparitas masa tunggu ekstrem (misalnya, antara belasan tahun dan 40 tahun).
Penerapan sistem antrean nasional ini juga akan membuat penyaluran nilai manfaat dana haji menjadi lebih proporsional, sehingga perbedaan manfaat yang diterima jamaah dengan masa tunggu 20 tahun dan 30 tahun tidak lagi mencolok.
Ketua Komisi VIII DPR RI Marwan Dasopang menilai usulan Kementerian Haji Arab Saudi agar masa tunggu jamaah haji Indonesia diseragamkan menjadi rata-rata 26 tahun harus dipertimbangkan dengan cermat.
Hal ini disampaikan dalam Rapat Kerja Komisi VIII DPR dengan Menteri Haji dan Umrah RI terkait pembahasan awal Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) Tahun 1447 H/2026 M. Marwan menjelaskan selama ini penetapan kuota haji di Indonesia didasarkan pada jumlah penduduk muslim di setiap provinsi, sehingga lama antrean berbeda-beda.
“Ada daerah yang masa tunggunya masih di bawah 15 tahun, ada juga yang jauh lebih lama. Dengan usulan pemerataan, rata-rata masa tunggu menjadi 26 tahun,” ujarnya usai rapat melalui keterangan yang diterima Rabu (1/10/2025).
Menurut politisi Fraksi PKB ini, keputusan terkait usulan tersebut tidak boleh diambil secara tergesa-gesa. Ia menekankan pentingnya sosialisasi agar masyarakat memahami dampak yang akan timbul.
“Ada jamaah yang sudah lunas tunda karena kuota tidak cukup, maka wajib diberangkatkan. Kalau tiba-tiba aturan berubah, bagaimana nasib mereka? Ini yang harus dijawab,” jelasnya.
Marwan juga menyinggung soal konsekuensi finansial apabila perhitungan BPIH dilakukan berdasarkan asal daerah masing-masing jemaah. Selama ini biaya rata-rata ditetapkan Rp89 juta per orang. Namun, bila dihitung per provinsi, ongkos transportasi dari daerah tertentu bisa menembus lebih dari Rp100 juta.
“Kalau beban biaya melonjak, tentu akan menimbulkan keberatan di masyarakat,” tambahnya. Ia memberi contoh, penerapan usulan itu akan membuat jamaah dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan lebih cepat berangkat, sementara provinsi dengan jumlah pendaftar besar seperti Jawa Barat justru mengalami keterlambatan. Aceh, sebaliknya, bisa diuntungkan karena masa tunggunya lebih singkat.
“Komisi VIII harus berhati-hati memberi persetujuan. Karena itu, kami meminta Menteri Haji melakukan sosialisasi terlebih dahulu untuk mendengar langsung tanggapan jemaah di berbagai daerah,” pungkasnya.



