Oleh: Delky Nofrizal Qutni
(Ketua DPC Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (APRI) Kabupaten Aceh Selatan, Wakil Ketua DPW APRI Provinsi Aceh)
Presiden RI Prabowo Subianto memasuki masa pemerintahan dengan agenda besar untuk menegakkan kedaulatan pangan, energi, dan sumber daya alam. Namun di antara seluruh sektor strategis itu, terdapat satu sektor yang selama ini diabaikan negara, padahal menopang kehidupan jutaan rakyat di perdesaan yakni pertambangan rakyat. Di balik kilau emas, tembaga, dan batu mulia yang menembus ekspor miliaran dolar setiap tahun, tersembunyi jutaan pekerja kecil yang bekerja di wilayah tak berizin, tanpa kepastian hukum, tanpa perlindungan sosial, dan sering kali tanpa teknologi ramah lingkungan.
Data menunjukkan, produksi emas nasional Indonesia mencapai sekitar 100 ton per tahun, dan studi berbagai lembaga menyebut 20 hingga 40 ton di antaranya dihasilkan oleh penambang rakyat atau artisanal small-scale gold mining (ASGM). Artinya, hampir sepertiga produksi emas negeri ini datang dari tambang rakyat, sebuah kenyataan yang sering diabaikan dalam perumusan kebijakan energi dan sumber daya mineral. Ironisnya, kontribusi besar ini belum pernah diikuti oleh pengakuan legal yang proporsional.
Sebaliknya, penambang rakyat masih dihadapkan pada stigma dan kriminalisasi, seolah mereka ancaman bagi negara. Padahal, dalam kerangka ekonomi rakyat, tambang-tambang kecil ini merupakan penyangga hidup jutaan keluarga. Asosiasi penambang memperkirakan sedikitnya 3,6 juta orang bekerja langsung di sektor ini, dengan tanggungan keluarga yang membuat total populasi terdampak mencapai 14 juta jiwa. Jika dihitung efek ekonominya seperti jasa logistik, bengkel, pedagang bahan tambang, hingga pekerja pengolah, maka sektor ini menyentuh hingga 40 juta jiwa. Dengan kata lain, hampir 15 persen populasi Indonesia bisa bergantung pada sektor yang belum memiliki legitimasi hukum yang memadai.
Kondisi ini menjadi paradoks nasional. Di satu sisi, negara mengklaim semangat pemerataan ekonomi dan keberpihakan pada rakyat kecil. Namun di sisi lain, regulasi pertambangan justru lebih memanjakan korporasi besar. Perizinan untuk Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba, secara normatif membuka ruang bagi rakyat untuk menambang, tetapi implementasinya nyaris mandek. Hingga 2024, dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, hanya segelintir yang benar-benar memiliki WPR aktif dan berizin. Selebihnya, tambang rakyat hidup dalam “zona abu-abu”, diatur oleh adat, diawasi secara informal, dan sering kali menjadi lahan penertiban aparat.
Legalisasi pertambangan rakyat bukanlah soal mengampuni pelanggaran, melainkan langkah politik negara untuk menata kembali hubungan antara rakyat dan sumber daya. Negara tidak boleh memonopoli legalitas sambil menutup mata terhadap realitas sosial di lapangan.
Justru dengan pengakuan hukum, negara dapat mengawasi, membina, dan memastikan bahwa pengelolaan sumber daya alam berjalan aman, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Dari sisi ekonomi, potensi tambang rakyat tak bisa dipandang remeh. Satu Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dengan luas 5-10 hektar mampu menyerap sekitar 300 tenaga kerja dan menyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) sekitar Rp1-2 miliar per tahun. Jika satu kabupaten memiliki 15 IPR aktif, kontribusinya pada PAD bisa mencapai Rp15-30 miliar setiap tahun. Bayangkan jika seratus kabupaten di seluruh Indonesia menempuh kebijakan serupa negara bisa memperoleh tambahan PAD hingga Rp2,5 triliun per tahun, di luar dampak ganda ekonomi lokal.
Lebih penting lagi, tambang rakyat memiliki efisiensi sosial tertinggi dalam menciptakan lapangan kerja. Setiap hektar lahan tambang rakyat mampu menampung 30 pekerja, sementara tambang besar dengan ribuan hektar hanya menampung rata-rata satu pekerja per hektar. Perbandingan 30 banding 1 ini menunjukkan bahwa tambang rakyat adalah alat efektif pemerataan ekonomi, bukan ancaman terhadapnya.
Dalam kerangka ekonomi makro, aktivitas tambang rakyat telah menciptakan perputaran uang sedikitnya Rp200 triliun per tahun secara nasional. Jika pemerintah melakukan legalisasi dan pembinaan teknis sehingga produktivitas serta kualitas produksi meningkat 20 persen saja, maka nilai tambah yang dapat ditangkap negara dan daerah mencapai Rp40 triliun per tahun. Angka ini cukup untuk membiayai program hilirisasi, reklamasi, dan penguatan koperasi penambang di seluruh Nusantara.
Skema Rasional dan Kedaulatan Hulu
Legalisasi tambang rakyat seharusnya tidak berhenti pada pemberian izin. Ia harus menjadi gerakan nasional penataan ekonomi hulu berbasis rakyat. Negara perlu merumuskan model baru pengelolaan sumber daya yakni hulu oleh rakyat, hilir oleh industri/investasi dan pengawasan oleh negara.
Hulu dikuasai rakyat melalui koperasi atau kelompok penambang yang memiliki legalitas IPR dalam wilayah WPR yang telah ditetapkan pemerintah daerah. Kelompok/Koperasi menjadi pemegang izin, penanggung jawab sosial dan lingkungan, serta pusat distribusi kesejahteraan. Pola koperasi penting bukan hanya untuk efisiensi ekonomi, tetapi juga untuk memastikan kepemilikan kolektif, menghindari dominasi individu, dan memudahkan akses pembiayaan dari bank.
Pendampingan teknis dapat dilakukan oleh asosiasi penambang rakyat dan perguruan tinggi. Asosiasi berperan menghubungkan penambang dengan lembaga penelitian dan pemerintah, sementara kampus dapat menjadi pusat pelatihan teknologi ramah lingkungan l, misalnya penerapan pengganti sianida seperti IDA atau Jinchan dalam proses leaching atau sistem gravitasi yang tanpa bahan kimia berbahaya. Laboratorium-laboratorium daerah perlu dibangun sebagai tempat pengujian kadar bijih dan pelatihan teknis. Model seperti ini sedang dikembangkan asosiasi bersama akademisi lokal dan bisa menjadi prototipe nasional.
Pada sisi hilir, perusahaan atau investor dilibatkan untuk mendirikan fasilitas pengolahan (processing plant) dan pemurnian (refinery) bersama, dengan skema bagi hasil yang adil. Rakyat tetap menjadi pemilik hulu, sementara sektor swasta menanggung investasi besar, transfer teknologi, dan pemasaran. Pendekatan ini memungkinkan hilirisasi tanpa menyingkirkan rakyat, sekaligus memenuhi amanat Pasal 33 UUD 1945 bahwa bumi dan kekayaan alam dikuasai negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Pembiayaan menjadi kunci lain. Selama ini tambang rakyat sulit mengakses kredit karena status hukumnya tidak jelas. Legalisasi akan membuka pintu bagi perbankan nasional, BPD, atau lembaga keuangan mikro untuk menyalurkan kredit koperasi tambang dengan skema berbasis kontrak offtake dan jaminan hasil produksi.
Pemerintah dapat membentuk dana penjamin khusus —seperti Lembaga Pembiayaan Tambang Rakyat agar risiko perbankan menurun dan bunga lebih kompetitif.
BUMD juga memiliki posisi strategis sebagai “bapak angkat” tambang rakyat. BUMD dapat menyalurkan investasi awal, menjamin pemasaran hasil tambang, dan menjadi penghubung antara koperasi penambang dan investor. Dengan model kemitraan tiga pihak (Koperasi–BUMD–Investor), hilirisasi tidak lagi menjadi monopoli korporasi besar, melainkan rantai nilai yang adil antara rakyat dan industri.
Negara berperan sebagai pengawas dan pembina. Pemerintah pusat dan daerah perlu membentuk unit khusus inspektur tambang rakyat, bertugas melakukan verifikasi lapangan, pengawasan teknis, dan audit lingkungan. Selain itu, perlu dikembangkan sistem digital untuk pencatatan asal-usul emas (traceable gold) agar rantai pasok tambang rakyat dapat memenuhi standar etis internasional.
Ini bukan hanya meningkatkan reputasi ekspor, tetapi juga memperkuat ketahanan nasional terhadap perdagangan mineral ilegal yang selama ini menjadi celah pendanaan kejahatan lintas negara.
Dari sisi sosial politik, legalisasi tambang rakyat adalah strategi stabilisasi nasional. Banyak daerah tambang rakyat yang menjadi episentrum ketegangan antara masyarakat dan aparat penegak hukum karena ketiadaan izin.
Konflik sosial, kriminalisasi, dan kekerasan di sektor ini sering kali menjadi sumber ketidakpercayaan terhadap negara. Dengan memberi ruang legal, negara justru memperkuat kohesi sosial, memperkecil konflik horizontal, dan mengubah tambang rakyat dari sumber instabilitas menjadi instrumen pembangunan daerah.
Secara geopolitik, penguasaan hulu oleh rakyat juga memperkuat kedaulatan sumber daya. Indonesia selama ini terlalu bergantung pada perusahaan besar asing untuk eksploitasi mineral strategis. Model hulu rakyat dengan hilirisasi nasional dapat mengurangi ketergantungan tersebut, meningkatkan ketahanan ekonomi, serta memperluas basis partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam.
Dari sisi regulasi, pemerintah sebenarnya memiliki dasar kuat untuk melangkah. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 dan PP Nomor 96 Tahun 2021 sudah mengatur WPR dan IPR.
Masalahnya bukan pada norma, melainkan pada implementasi. Pemerintah daerah kesulitan menentukan WPR karena minimnya data geologi dan panduan teknis. Di sinilah pemerintah pusat perlu hadir dengan kebijakan afirmatif. Presiden dapat mengeluarkan Peraturan Presiden tentang percepatan penetapan WPR dan legalisasi IPR.
Program ini bisa menjadi quick win nasional yang membuka lapangan kerja baru, memperluas basis pajak, dan menekan penambangan ilegal tanpa kekerasan.
Skema insentif pun dapat dirancang. Misalnya, kabupaten yang menetapkan WPR dan membina IPR dapat memperoleh Dana Insentif Daerah (DID) tambahan. Sementara itu, pemerintah pusat menyediakan dana bergulir untuk koperasi tambang, laboratorium lapangan, dan pelatihan teknologi bersih. Dalam 12-24 bulan, model ini bisa diterapkan di 10-50 kabupaten pilot seperti Kapuas Hulu, dan Halmahera, sebelum direplikasi ke seluruh Indonesia.
Dampak fiskalnya sangat nyata. Jika setiap kabupaten pilot menghasilkan PAD tambahan Rp20 miliar per tahun, dan kemudian diperluas ke 100 kabupaten, maka negara memperoleh Rp2 triliun tambahan PAD lokal per tahun.
Di sisi lain, pembinaan teknis akan mengurangi kerusakan lingkungan dan meningkatkan produktivitas. Perbaikan efisiensi 10 persen saja di sektor yang bernilai Rp200 triliun sudah menambah Rp20 triliun per tahun ke ekonomi nasional, setara dengan dua kali anggaran pembangunan desa skala menengah.
Lebih dari itu, legalisasi tambang rakyat menciptakan mekanisme kontrol sosial baru. Penambang yang memiliki izin akan menjaga lingkungannya sendiri karena reputasi koperasi menjadi jaminan kelangsungan izin.
Mereka akan lebih mudah diawasi, dilatih, dan diberi sanksi bila melanggar. Dengan demikian, legalisasi bukan berarti liberalisasi, melainkan integrasi rakyat dalam tata kelola sumber daya nasional.
Jalan Menuju Keadilan dan Ketahanan
Presiden Prabowo memiliki peluang sejarah untuk menata ulang sektor pertambangan Indonesia agar benar-benar mencerminkan semangat konstitusi. Selama ini, konsep kedaulatan sumber daya sering berhenti di wacana politik, tetapi gagal menembus akar ekonomi rakyat. Legalisasi tambang rakyat adalah bentuk konkret menegakkan Pasal 33 yang memberi rakyat hak legal, negara peran pengatur, dan pasar peran pendukung.
Langkah awalnya tidak rumit, keluarkan Peraturan Presiden tentang percepatan penetapan WPR, legalisasi IPR bagi koperasi, dan pembentukan dana pembiayaan tambang rakyat. Selanjutnya, intruksikan pembentukan BUMD Bapak Angkat tambang rakyat yang memfasilitasi investasi, laboratorium pengujian, dan pelatihan teknologi bersih. Dengan skema ini, pemerintah tidak perlu menambah subsidi, tetapi justru menata ekonomi yang sudah hidup agar produktif dan berkelanjutan.
Tambang rakyat yang legal, aman, dan berdaya akan menjadi fondasi baru ekonomi daerah dan pilar ketahanan nasional. Ia menyerap tenaga kerja, memperluas PAD, menurunkan kemiskinan, dan menguatkan rasa memiliki rakyat terhadap sumber daya bangsanya.
Legalisasi tambang rakyat bukan kebijakan teknis, melainkan strategi kebangsaan dengan menegakkan kembali makna kedaulatan rakyat atas bumi dan kekayaan alam Indonesia.



