Oleh: Riza Syahputra*
TERDAPAT sebuah pengamatan yang kritis dan abadi yang pernah dilontarkan oleh pemikir sekaligus wartawan Tempo, Ahmad Wahib. Beliau pernah berujar, “Kebanyakan orang lebih takut kehilangan jabatan daripada kehilangan harga diri.”
Kutipan itu bukan sekadar kalimat bijak, melainkan sebuah diagnosis sosial yang terasa kian relevan dan mengkhawatirkan di era kontemporer ini.
Di ‘Negeri +62’ tercinta, ketakutan akan hilangnya jabatan kini seolah menjadi fobia tertinggi, mengalahkan rasa takut terhadap ancaman alam seperti gempa atau tsunami.
Ironisnya, ketakutan ini sering kali jauh lebih besar daripada rasa takut kehilangan harga diri—sebuah fondasi esensial yang seharusnya menjadi jangkar moralitas seseorang.
Fenomena ini mencerminkan krisis identitas yang mendalam di kalangan elit dan birokrat kita. Status, pangkat, dan kursi telah menjadi satu-satunya sumber validasi diri.
Jika harga diri adalah napas yang tak terlihat, maka jabatan telah menjadi alat bantu pernapasan (ventilator) yang membuat banyak orang merasa hidup. Begitu alat itu dicabut, mereka merasa mati secara sosial.
Anatomi Ketakutan Kehilangan Kursi
Mengapa ketakutan kehilangan jabatan bisa sebegitu intens? Jawabannya terletak pada ekosistem kekuasaan dan privilege yang menyertai kursi tersebut. Kehilangan jabatan bukan hanya berarti kehilangan gaji; ia berarti:
- Kehilangan Akses: Hilangnya kemampuan memanggil, memerintah, atau sekadar membuat janji temu dengan pihak-pihak penting.
- Kehilangan Privilege: Berakhirnya fasilitas (mobil dinas, pengawal, ruang VIP) yang membuat hidup terasa lebih mudah, cepat, dan istimewa.
- Kehilangan Legasi Semu: Sirnanya power untuk memaksakan kehendak dan meninggalkan jejak, meskipun jejak itu dibangun di atas fondasi yang rapuh atau kompromi etika.
- Kehilangan Identitas: Bagi banyak orang, mereka adalah jabatan mereka. Melepas jabatan sama dengan melepas diri mereka sendiri di mata publik.
Dalam sistem yang terlanjur terinstitusi ini, jabatan menjadi penentu utama status sosial. Sementara harga diri adalah nilai internal yang tidak terlihat, jabatan adalah nilai eksternal yang dapat diukur, dirayakan, dan dihormati secara kasat mata.
Ketakutan inilah yang membuat banyak manusia rela menukar integritas dengan proyek, menukar suara hati dengan surat keputusan, dan menukar prinsip dengan kelanggengan posisi.
Paradox ‘Kursi Pinjaman’ dan Baju Dinas
Mari kita tegaskan kembali: jabatan hanyalah “kursi pinjaman” yang memiliki masa sewa yang pasti berakhir, sedangkan harga diri adalah aset abadi yang dibawa hingga akhir hayat.
Namun, demi kursi pinjaman itu, banyak yang terjebak dalam perangkap transaksionalisme. Kita saksikan betapa mudahnya seseorang mati-matian membela diri dan otoritasnya meskipun jelas di posisi yang salah, demi terlihat “terhormat” dan menghindari konsekuensi hukum atau sosial yang merusak citra. Mereka berjuang bukan demi kebenaran, tetapi demi mempertahankan ilusi kehormatan.
Mereka juga lupa bahwa jabatan itu hanyalah “baju dinas”. Baju dinas dipakai saat bekerja, dilepas saat pulang. Sayangnya, banyak yang kelupaan melepas baju dinas ini.
Mereka membiarkannya melekat sebagai kulit kedua, hingga mereka tidak tahu lagi siapa diri mereka tanpa seragam itu.
Ketika penghormatan yang diterima adalah hasil dari seragam (jabatan), maka penghormatan itu bersifat kondisional. Ia berlaku selama seragam itu masih dikenakan.
Begitu seragam ditanggalkan, semua penghormatan pun ikut luntur. Inilah ironi birokrasi yang mengkomodifikasi harga diri. Integritas dijual beli demi perpanjangan sewa kursi.
Keheningan Ruang VIP yang Kosong
Dampak dari kerelaan mempertukarkan harga diri demi jabatan ini terlihat jelas dalam fenomena “sunyi senyap” pasca-kekuasaan.
Begitu seseorang turun jabatan, entah karena pensiun atau karena diganti, mendadak semua orang di sekitarnya juga ikut “turun” interaksinya. Telepon sepi, pesan singkat tidak dibalas, dan undangan acara penting mendadak “nyasar” ke orang lain.
Para penjilat dan pengikut setia seolah menghilang ditelan bumi, meninggalkan ruang VIP yang tiba-tiba kosong dan sunyi.
Dalam keheningan itulah, seseorang baru menyadari bahwa hubungan yang selama ini ia nikmati bukanlah hubungan yang tulus dengan dirinya sebagai individu, melainkan hubungan fungsional dengan jabatannya. Kesunyian itu adalah harga yang harus dibayar atas pengorbanan integritas.
Di titik ini, harga diri bukan lagi nilai yang dijunjung, melainkan semacam barang yang bisa ditukar. Orang-orang ini panik, bukan karena kehilangan integritas moral, tetapi karena kehilangan akses ke ruang privilege.
Ujian Cermin Sejati
Maka, sudah saatnya kita merenung, sebagaimana Wahib menantang kita.
Jabatan itu sementara. Harga diri itu abadi. Daripada membangun harga diri di atas pasir jabatan yang mudah tersapu ombak, kita harus membangunnya di atas fondasi yang kokoh: karakter dan kejujuran. Kita harus membedakan antara dihormati karena power dan dihormati karena wisdom dan integritas.
Coba kita lakukan “Ujian Cermin Sejati.”
Jika besok semua titel, jabatan, pangkat, dan privilege dicabut. Jika kita berdiri di depan cermin hanya dengan diri kita sendiri, tanpa embel-embel dan atribut kekuasaan: Siapakah kita sebenarnya? Apakah kita masih punya keberanian untuk menatap pantulan cermin tanpa merasa kecil? Apakah cermin itu masih mengenali wajah kita, atau justru ia melihat bayangan asing yang panik karena kehilangan status?
Bisa jadi, yang kita jaga selama ini bukanlah kehormatan, melainkan ilusi tentang kehormatan. Dan yang kita pertahankan bukanlah harga diri sejati, melainkan hanya golden ticket untuk mendapatkan perlakuan istimewa.
Mari kita berani melepaskan ketergantungan pada kursi pinjaman. Karena pada akhirnya, tidak ada jabatan yang abadi. Yang abadi adalah bagaimana kita dikenang setelah jabatan itu hilang.
Harga diri yang sejati tidak membutuhkan lencana, gaji, atau kursi empuk. Ia cuma butuh keberanian untuk tetap jujur dan teguh pada prinsip, apa pun risiko kehilangan kursinya.



