Banda Aceh, Infoaceh.net — Sebuah kebijakan yang lahir untuk menambah kesejahteraan justru menimbulkan keresahan. Itulah yang kini dirasakan para tenaga kesehatan (Nakes) di tiga rumah sakit milik Pemerintah Aceh yakni RSUD dr. Zainoel Abidin (RSUDZA), RS Jiwa (RSJ) Aceh, dan RS Ibu dan Anak (RSIA) setelah diberlakukannya aturan baru mengenai Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP).
Pada 5 April 2024, Pj Gubernur Aceh Bustami Hamzah menetapkan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 15 Tahun 2024 tentang Pemberian Tambahan Penghasilan bagi ASN.
Tak lama kemudian, terbit pula Keputusan Gubernur Nomor 800.1.5/715/2024 yang mengatur dasar dan besaran TPP. Namun, penerapan aturan ini menimbulkan polemik besar di kalangan tenaga kesehatan.
Pasalnya, Pemerintah Aceh mengharuskan rumah sakit memilih antara menerima Jasa Medis atau Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP).
Pilihan ini menjadi dilema berat bagi dokter, perawat, bidan dan tenaga kesehatan lainnya. Padahal, Jasa Medis merupakan hak profesional yang bersumber dari pendapatan rumah sakit melalui BPJS dan asuransi kesehatan lainnya, sebagaimana diatur dalam UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 dan Permenkes Nomor 28 Tahun 2014.
Sementara TPP adalah tunjangan yang diberikan karena status sebagai ASN, sebagaimana juga diterima oleh pegawai di instansi lain.
Dengan demikian, menyamakan kedua hal ini—dan memaksa tenaga medis memilih salah satunya—jelas tidak adil dan tidak sejalan dengan semangat undang-undang.
Kebijakan yang Merusak Semangat Pelayanan
Sejak Maret 2025, suasana kerja di ketiga rumah sakit menjadi tidak kondusif. Fokus pelayanan terganggu, semangat kerja menurun, dan keresahan meluas di kalangan tenaga kesehatan.
Perwakilan RSIA dan RSJ telah beberapa kali menemui Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh untuk mencari jalan keluar. Namun hasilnya tetap sama: rumah sakit harus memilih antara TPP atau Jasa Medis.
Akibatnya, RSJ dan RSIA terpaksa memilih TPP, menyebabkan dana jasa medis tertumpuk di kas rumah sakit tanpa bisa dibagikan kepada yang berhak.
Sistem TPP sendiri juga dipersoalkan, karena hanya menilai kelas jabatan dan absensi—tanpa mempertimbangkan beban kerja dan risiko profesi.
Padahal, pekerjaan tenaga medis menyangkut keselamatan manusia, bukan sekadar angka kehadiran di daftar absensi.
Janji Revisi yang Tak Kunjung Terealisasi
Pada September 2025, pihak rumah sakit kembali menemui Sekda Aceh dan menerima janji revisi keputusan gubernur agar komponen TPP lebih objektif. Namun hingga kini, janji itu belum terealisasi.
Kemudian pada Oktober 2025, RSUDZA mengundang Tim TPP dan BLUD Kemendagri untuk mengklarifikasi persoalan ini. Hasilnya mengejutkan: hanya di Aceh tenaga medis di rumah sakit provinsi diwajibkan memilih antara TPP dan Jasa Medis.
Di provinsi lain di Indonesia, kedua hak itu berjalan berdampingan sesuai ketentuan Permenkes Nomor 28 Tahun 2014, yang memperbolehkan rumah sakit mengalokasikan 30–50 persen pendapatan dari BPJS untuk jasa pelayanan medis.
Tenaga Medis: Antara Pengabdian dan Ketidakadilan
Meski kebijakan ini menimbulkan kekecewaan, para tenaga medis di Aceh tetap menjalankan tugasnya.
Mereka tetap melayani pasien, tetap siaga di ruang rawat, tetap berjaga di malam hari, bahkan ketika hak-hak mereka belum dipenuhi.
Namun di balik pengabdian itu, tersimpan rasa getir. Mereka merasa tidak dihargai sebagai profesional yang memikul tanggung jawab besar terhadap nyawa manusia.
Permohonan Focus Group Discussion (FGD) yang diajukan RSIA dan RSJ untuk meninjau ulang keputusan gubernur juga belum direspons hingga kini.
Bukan Sekadar Angka, Tapi Penghargaan atas Kemanusiaan
Para tenaga medis di Aceh tidak menuntut keistimewaan. Mereka hanya menuntut keadilan dan penghargaan atas profesinya.
Jasa Medis bukan semata tambahan penghasilan—tetapi bentuk pengakuan terhadap dedikasi, kompetensi dan kemanusiaan.
Pemerintah seharusnya memahami, bahwa kebijakan yang baik bukan hanya soal angka dalam peraturan, tetapi soal bagaimana ia menghargai manusia yang menjadi ujung tombak pelayanan publik.
Selama kebijakan ini belum dikoreksi, Aceh akan tetap tercatat sebagai satu-satunya daerah di Indonesia yang menghapus hak jasa medis tenaga kesehatan.
Sebuah ironi yang terjadi di tanah yang dikenal dengan julukan Serambi Mekkah—tempat di mana seharusnya keadilan dan kemanusiaan dijunjung tinggi.



