Oleh: Dr (cand) Yohandes Rabiqy, SE., MM
Penurunan Dana Bagi Hasil (DBH) migas Aceh dari Rp252,67 miliar pada 2023 menjadi hanya Rp100,03 miliar pada 2025 bukan sekadar alarm fiskal. Ini adalah bukti telanjang bahwa tata kelola energi Aceh sedang gagal secara struktural. Bukan sumur minyak yang kering, tapi strategi dan kepemimpinan yang kosong.
Kenyataan ini menampar slogan lama “Aceh kaya energi” yang kini terdengar lebih mirip nostalgia daripada fakta ekonomi. Data berbicara lebih jujur: dari total DBH tahun 2025, hanya Rp5,64 miliar yang berasal dari DBH reguler (produksi), sementara Rp94,39 miliar atau 94,4 persen berasal dari Tambahan Otsus Migas. Artinya, Aceh tak lagi hidup dari hasil energinya sendiri, melainkan dari formula belas kasih fiskal Jakarta.
Aceh, yang dulu menjadi episentrum energi nasional, kini terdegradasi menjadi provinsi penerima subsidi energi. Perubahan status ini bukan kebetulan, tapi hasil dari bertahun-tahun kelalaian strategis dan absennya otoritas yang berani memimpin industri migas.
BPMA: Dari Pengawal Kedaulatan Jadi Penghias Konferensi
Publik Aceh berhak bertanya: di mana posisi BPMA dalam kemerosotan ini? Badan yang seharusnya menjaga kepentingan Aceh di sektor hulu justru terlihat lebih aktif membuka booth di pameran energi ketimbang membuka sumur eksplorasi.
Jika lifting minyak tahun 2024 hanya sekitar 1,44 juta barel dan lifting gas 17,85 juta MMBTU, di mana strategi agresif untuk meningkatkan produksi? Mengapa setiap kali investor datang membawa proposal, narasi kemenangan disusun rapi, tapi data produksi tetap stagnan?
BPMA seolah kehilangan arah. Mandat “mengawal kedaulatan energi Aceh” tergantikan oleh rutinitas seremonial. Ia lebih tampak sebagai lembaga protokoler daripada lembaga strategis. Para pejabatnya hadir di banyak forum, tapi tak satu pun forum menghasilkan peningkatan lifting. Mereka bicara tentang “komitmen investasi”, tapi publik menunggu hasilnya yang tak pernah datang.
Pemerintah Aceh: Otonomi Tanpa Gigi
Pemerintah Aceh pun tak luput dari sorotan. Undang-undang telah memberi wewenang besar lewat skema co-management migas, namun dalam praktik, posisi Aceh justru makin lemah dalam negosiasi energi.
Tidak terdengar langkah konkret untuk menekan kinerja BPMA, meninjau kontrak, atau menuntut transparansi lifting. Saat DBH migas anjlok 73 persen pada 2024, yang muncul bukan reaksi strategis, melainkan sikap pasrah. Ini bukan otonomi energi—ini penyerahan mandat.
Bahkan dalam forum nasional, suara Aceh nyaris tak terdengar. Padahal, dengan status kekhususan yang dimiliki, Aceh seharusnya menjadi game changer dalam tata kelola energi daerah. Namun yang terjadi, Pemerintah Aceh justru tampak canggung berhadapan dengan kementerian, seolah kehilangan arah, bahkan kehilangan keberanian untuk menegakkan haknya sendiri.
Birokrasi Lambat, Investor Lari
Dari sisi investasi, Aceh dinilai lambat, tidak sinkron, dan minim kepastian. Banyak investor yang mengeluhkan proses perizinan yang berbelit, koordinasi antarinstansi yang tumpang tindih, dan tidak adanya jaminan kepastian jangka panjang.
Para investor global membandingkan Aceh dengan Riau atau Kalimantan Timur—dan hasilnya memalukan. Aceh terlihat seperti daerah yang menunggu dunia berubah, bukan yang beradaptasi dengan dunia.
Dalam era transisi energi global, sikap pasif bukan sekadar keliru, tapi berbahaya. Investor butuh kejelasan, bukan pidato. Butuh data eksplorasi, bukan baliho bertema potensi energi.
Setiap kali pemerintah daerah bicara soal “Aceh ramah investasi”, kalimat itu seolah menjadi lelucon, karena di lapangan yang ditemui adalah birokrasi yang berjalan di tempat. Investor tidak butuh undangan seremoni, mereka butuh kepastian hukum dan kecepatan eksekusi.
Potensi Besar, Realisasi Nol
Potensi energi Aceh sebenarnya luar biasa: panas bumi 1.000 MW, hidro 1.800 MW, dan puluhan titik energi terbarukan. KEK Arun bahkan memiliki infrastruktur LNG berkelas dunia.
Namun dari semua itu, pertanyaannya tetap sama: berapa yang sudah dikomersialisasikan?
Jawabannya pahit — hampir tidak ada.
Potensi besar tanpa strategi adalah sekadar ilusi. Lembaga energi Aceh terlalu birokratis, terlalu takut salah, dan gagal menjadi lembaga yang strategis, kompetitif, dan berorientasi hasil. Mereka sibuk membuat laporan tahunan, bukan menaikkan lifting. Mereka nyaman dengan rutinitas administratif, tapi enggan mengambil risiko untuk memulai eksplorasi baru.
Jika kondisi ini terus berlanjut, Aceh akan terus tertinggal bahkan dari provinsi kecil yang berani melangkah ke energi terbarukan. Sementara dunia beralih ke green energy, Aceh masih sibuk membanggakan masa lalu Arun dan gas alam cair yang tinggal kenangan.
DBH Turun, Martabat Ekonomi Ikut Jatuh
Grafik DBH yang merosot tajam bukan sekadar persoalan fiskal. Ia adalah cermin politik. Ia menunjukkan betapa Pemerintah Aceh dan lembaga pengelola energinya gagal mengubah potensi menjadi pendapatan.
Dan biaya dari kegagalan ini tidak ditanggung oleh pejabat atau lembaga, melainkan oleh masyarakat Aceh — oleh pembangunan yang terpangkas, UMKM yang lesu, belanja modal yang menyusut, dan generasi muda yang kehilangan masa depan di sektor energi.
Merosotnya DBH berarti merosot pula kemampuan Aceh membiayai dirinya sendiri. Setiap rupiah yang hilang adalah infrastruktur yang tertunda, beasiswa yang batal, dan lapangan kerja yang tak pernah tercipta.
Ini bukan sekadar angka dalam tabel APBA. Ini soal martabat ekonomi Aceh yang perlahan tergerus.
Tuntutan, Bukan Harapan
Kini sudah waktunya berhenti beretorika dan mulai menuntut. Pemerintah Aceh harus sadar, waktu untuk memperbaiki tata kelola energi sudah hampir habis.
Pemerintah Aceh harus:
Memaksa BPMA mempublikasikan roadmap eksplorasi dan produksi tahunan yang bisa diawasi publik.
Meninjau ulang semua kontrak migas yang tak menunjukkan progres eksplorasi nyata.
Menghidupkan kembali KEK Arun sebagai pusat industri energi yang nyata, bukan sekadar etalase potensi.
Meningkatkan TKDN lokal secara wajib, bukan sukarela, agar tenaga kerja Aceh tidak terus jadi penonton.
Mengganti paradigma lama “hidup dari masa lalu Arun” dengan visi baru: hilirisasi, energi terbarukan, dan industrialisasi berbasis ekspor.
Aceh tidak boleh terus menjadi “penonton kaya sumber daya tapi miskin strategi”. Daerah ini butuh kepemimpinan baru di sektor energi—kepemimpinan yang paham data, tegas dalam kebijakan, dan berani menghadapi pusat.
Selama Aceh tidak memiliki lembaga energi yang agresif, pemerintah yang berani, dan strategi berbasis data, maka grafik DBH migas akan terus menurun.
Dan setiap kali angka itu turun, yang ikut jatuh bukan cuma pendapatan daerah — tapi martabat ekonomi Aceh itu sendiri.



