Banda Aceh, Infoaceh.net – Wakaf bukan hanya ibadah bernilai akhirat, tetapi juga instrumen penting dalam pembangunan ekonomi umat.
Hal itu disampaikan oleh dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) UIN Ar-Raniry, Dr Jalaluddin MA dalam sebuah diskusi ekonomi syariah di Banda Aceh, Sabtu sore (15/11).
Dalam pemaparannya, akademisi yang akrab disapa Uja (Ustaz Jalal) itu mengajak masyarakat Aceh untuk kembali memaksimalkan ajaran wakaf sebagaimana diwariskan para ulama dan telah terbukti menopang peradaban Islam selama berabad-abad.
Uja mengawali kajian dengan mengutip QS. Ali Imran ayat 92 yang menegaskan bahwa seseorang tidak akan meraih kebaikan yang sempurna sampai ia menafkahkan sebagian harta yang dicintainya.
Ayat ini, katanya, menjadi fondasi utama praktik wakaf selain hadis tentang sedekah jariyah.
“Dalam perjalanan sejarah Islam—mulai masa Rasulullah SAW, Khulafaur Rasyidin, Dinasti Umayyah hingga Turki Utsmani—wakaf menjadi tulang punggung pendidikan, kesehatan, sosial dan ekonomi,” jelasnya.
Ia mencontohkan Universitas Al-Azhar Cairo Mesir yang berdiri lebih dari 1.000 tahun dan tetap eksis berkat endowment wakaf. Konsep serupa juga terus berkembang di Barat melalui endowment fund pada universitas-universitas ternama dunia.
Aceh dan Tantangan Pengelolaan Wakaf
Menurut Uja, Aceh sebagai daerah syariah seharusnya mampu menjadi pionir dalam tata kelola wakaf modern. Apalagi Aceh memiliki lembaga resmi seperti Baitul Mal di seluruh kabupaten/kota.
Namun di lapangan, sejumlah persoalan masih menghambat optimalisasi wakaf, di antaranya: banyak tanah wakaf belum bersertifikat, nazir belum profesional,
aset wakaf kurang produktif, rendahnya transparansi dan akuntabilitas.
“Jika tanah wakaf tidak dikelola dengan amanah, ia bukan hanya tidak bermanfaat di dunia, tetapi bisa menjadi beban di akhirat,” tegasnya.
Wakaf Uang: Instrumen Modern yang Inklusif
Uja juga menekankan pentingnya mendorong wakaf uang, sebagaimana telah diatur dalam UU No. 41 Tahun 2004. Wakaf tidak lagi terbatas pada tanah atau bangunan, tetapi bisa berupa uang tunai yang nominalnya sangat terjangkau—bahkan mulai dari Rp1.000.
Dengan tata kelola profesional melalui nazir bersertifikat Certificate Waqf Competence (CWC) serta kolaborasi dengan Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU), Aceh diyakini bisa menggalang wakaf secara berkelanjutan, termasuk melalui digitalisasi.
Beberapa instrumen investasi yang dinilai aman dan dapat dipilih antara lain:
Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS),
Deposito syariah berbasis wakaf (CWLD),
Reksadana syariah pendapatan tetap,
Proyek sektor riil pemerintah yang minim risiko,
Pembiayaan UMKM berbasis bagi hasil atau qardhul hasan.
“Pokok wakaf tetap utuh, sementara manfaat investasinya mengalir kepada penerima manfaat,” kata Uja.
Ia juga menyoroti sejumlah best practice pengelolaan ZISWAF seperti UIN Ar-Raniry dengan ITF, Rumah Amal USK, Yayasan Haroen Aly DQA, dan Baitul Asyi Aceh sebagai contoh tata kelola yang semakin profesional.
Lebih jauh, Uja mengingatkan bahwa wakaf tidak terbatas pada benda tidak bergerak. Banyak bentuk wakaf lain yang bisa dioptimalkan, seperti:
wakaf buku dan royalti,
hak kekayaan intelektual,
saham,
kendaraan,
serta wakaf uang.
“Beberapa ulama bahkan pernah membangun masjid dari royalti buku yang terus dicetak setiap tahun,” ujarnya.
Menutup paparan, Dr. Jalaluddin mengajak masyarakat Aceh menghidupkan kembali tradisi wakaf sebagai gaya hidup dan gerakan sosial-ekonomi umat.
Apalagi generasi muda Aceh, khususnya Generasi Z, sangat melek teknologi sehingga berpotensi mempercepat transformasi digital wakaf.
“Wakaf adalah ibadah yang menembus batas waktu. Selama manfaatnya hidup, pahala pewakaf tidak terputus,” katanya.
Ia berharap gerakan wakaf di Aceh terus berkembang dan mampu menjadi salah satu motor kemandirian ekonomi umat, mulai dari masjid, pesantren, sekolah, hingga berbagai lembaga sosial.
Foto:
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) UIN Ar-Raniry, Dr Jalaluddin MA



