Banda Aceh, Infoaceh.net — Serangkaian persoalan pengelolaan anggaran kembali menyeret pemerintah Aceh dalam pusaran kritik publik.
Mulai dari pengadaan mobil dinas mewah dan rehab rumah pejabat, keterlambatan penyaluran beasiswa yatim, proyek rumah dhuafa yang tersendat, hingga perbaikan jalan rusak yang tak kunjung terlaksana—semuanya menunjukkan pola yang sama: layanan publik terhambat, fasilitas pejabat tetap berjalan.
Sorotan paling tajam tertuju pada Badan Penghubung Pemerintah Aceh (BPPA) yang mengalokasikan Rp6,5 miliar untuk pembelian mobil dinas baru di Jakarta.
Kebijakan itu dianggap tidak sensitif terhadap kondisi masyarakat Aceh yang masih membutuhkan banyak dukungan sosial.
Pada saat yang sama, 93 ribu anak yatim yang berhak atas beasiswa pendidikan justru belum menerima hak mereka.
Dinas Pendidikan Aceh bahkan harus meminta maaf kepada publik karena dana yang dijanjikan belum cair. Kondisi ini memicu kekecewaan luas mengingat program tersebut menyasar kelompok yang sangat bergantung pada bantuan pemerintah.
Tak hanya itu, proyek pembangunan 530 rumah dhuafa juga disebut gagal direalisasikan secara penuh.
Sejumlah calon penerima masih belum mendapatkan bantuan rumah yang dijanjikan. Proses verifikasi yang lambat dan tidak akurat dituding menjadi penyebab utama macetnya program tersebut.
Tidak kalah mencolok, perbaikan jalan rusak juga ikut tertunda di sejumlah kabupaten/kota dengan alasan belum ada anggaran.
Rangkaian kasus ini mencerminkan persoalan sistemik di tubuh birokrasi Aceh. Program-program yang menyentuh masyarakat kecil berulang kali terhambat, sementara pengeluaran bernilai besar untuk fasilitas pejabat tidak mengalami hambatan berarti.
Lemahnya koordinasi antarinstansi, minimnya pengawasan internal, dan budaya lempar tanggung jawab memperburuk kredibilitas pemerintah.
Situasi tersebut menciptakan jurang kepercayaan antara pemerintah dan publik. Anak yatim, keluarga dhuafa, serta para pengguna jalan merasa tidak diprioritaskan oleh pemerintah yang seharusnya menjadi pelindung mereka.
Di sisi lain, keputusan anggaran yang lebih memihak kenyamanan pejabat memperkuat persepsi bahwa pemerintah Aceh belum benar-benar berpihak kepada rakyat kecil.
Jika tidak ada pembenahan serius, ketidakselarasan antara kebutuhan masyarakat dan keputusan anggaran pejabat dapat memperdalam krisis legitimasi pemerintah.
Ruang publik kini menunggu langkah konkret, bukan sekadar permintaan maaf atau saling menyalahkan.



