Banda Aceh, Infoaceh.net – Usulan seorang Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dari Fraksi NasDem Martini terkait pemberian subsidi mahar emas bagi pasangan muda yang akan menikah, memicu beragam tanggapan publik.
Salah satunya datang dari Pemerhati Kebijakan Publik Aceh, Drs M. Isa Alima, yang menilai wacana tersebut kurang tepat sasaran dan tidak menjawab persoalan mendasar yang dihadapi anak muda Aceh.
Isa Alima mengapresiasi niat baik sang anggota dewan yang dinilai peduli terhadap isu mahalnya mahar emas, terutama bagi pasangan muda. Namun, menurutnya, kebijakan tersebut tidak memberikan solusi jangka panjang.
“Pertama, kita salut atas ide baik anggota dewan tersebut yang peduli dan tanggap akan isu anak muda terkait pernikahan dan harga emas,” ujar Isa Alima, dalam keterangannya, Selasa (18/11/2025).
Namun ia menegaskan, bahwa subsidi mahar bukanlah jalan keluar yang logis. Sebaliknya, kebijakan itu justru dikhawatirkan membuka ruang bagi tuntutan subsidi yang lebih luas.
“Kalau begini arahnya, nanti mie Aceh, undangan nikah, sampai biaya pelaminan pun bisa ikut-ikut minta subsidi,” ujarnya menyindir.
Ia menambahkan bahwa harga emas merupakan komoditas global yang tidak bisa ditekan dengan kebijakan instan pemerintah daerah.
“Jangan membangun ilusi seolah kenaikan ini bisa dihalau dengan kebijakan instan,” tegasnya.
Lebih jauh, Isa Alima menilai bahwa yang dibutuhkan generasi muda Aceh bukanlah subsidi mahar, melainkan kesempatan untuk mandiri secara ekonomi. Ia mendorong Pemerintah Aceh untuk berkoordinasi dengan pemerintah pusat dalam menyediakan program padat karya, membuka industri baru yang menyerap tenaga kerja, serta memberi pelatihan keterampilan yang relevan.
“Kalau ingin bantu pemuda, fasilitasi padat karya, buka industri, beri mereka skill. Biar mereka bekerja, berpenghasilan, dan mampu membeli emas dengan bangga dari jerih payah sendiri. Bukan dari subsidi yang memanjakan,” ujarnya.
Subsidi Mahar Dinilai Berisiko Membebani Anggaran
Dengan jumlah pasangan menikah yang tinggi setiap tahun di 23 kabupaten/kota di Aceh, Isa Alima menilai wacana subsidi mahar justru berpotensi menjadi beban fiskal yang tak masuk akal.
“Kalau mahar satu mayam emas saja butuh subsidi Rp7 juta, bayangkan berapa anggaran yang terbakar. Ini bukan kebijakan, ini jebakan defisit,” katanya.
Menurutnya, pernikahan bukan hanya soal mahar. Ia mempertanyakan bagaimana kelangsungan ekonomi pasangan setelah menikah apabila kebijakan pemerintah sebatas membantu pada tahap awal saja.
“Setelah mahar disubsidi, linto (pengantin laki-laki) mau kasih makan apa anak orang itu setelah menikah?” ujarnya sambil tersenyum.
Isa Alima juga mengingatkan pentingnya Tri Fungsi DPRA—legislasi, pengawasan dan anggaran—yang dinilainya harus menjadi pedoman anggota dewan dalam mengusulkan kebijakan publik.
“Rakyat menunggu solusi yang membangun ekonomi, bukan wacana yang mengundang tawa sesaat,” katanya.
Menutup pernyataannya, Isa Alima menekankan fokus pemerintah seharusnya diarahkan pada penciptaan lapangan kerja, tata kelola sumber daya alam yang baik, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia Aceh.
“Jika hal ini dapat dikontrol dan dijalankan dengan baik, maka tidak perlu lagi yang namanya subsidi,” pungkasnya.
“Pemuda Aceh hari ini butuh lapangan kerja, bukan subsidi mahar. Butuh masa depan, bukan hiburan kebijakan. Rakyat butuh pemimpin yang berpikir jauh ke depan, bukan sekadar melempar ide yang meriah di bibir, tapi kosong di logika,” pungkasnya.
Foto:
Pemerhati Kebijakan Publik Aceh, Drs M. Isa Alima



