Banda Aceh, Infoaceh.net — Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mendadak ramai oleh perbincangan hangat setelah beredar informasi pada 14 November 2025 lalu, bahwa Gubernur Aceh, Muzakir Manaf atau Mualem, menyebut Presiden Prabowo Subianto akan memberikan tambahan anggaran Rp8 triliun untuk Aceh pada tahun anggaran 2026.
Pernyataan itu menyebar cepat di media dan grup perpesanan, memunculkan beragam tanggapan, mulai dari harapan hingga keraguan.
Banyak pihak mempertanyakan asal-usul dana fantastis tersebut, mengingat angka Rp8 triliun hampir dua kali lipat Dana Otsus Aceh tahun 2026 sebagaimana tertuang dalam dokumen resmi negara.
Tidak Ada Tambahan Rp8 Triliun dalam Nota Keuangan RAPBN 2026
Dalam Nota Keuangan RAPBN 2026 yang disampaikan Presiden Prabowo di hadapan DPR-RI, alokasi Dana Otonomi Khusus (Otsus) untuk Aceh tercatat Rp3,74 triliun.
Sampai saat ini tidak ditemukan pos anggaran tambahan yang berkaitan dengan dana Rp8 triliun sebagaimana yang disebutkan.
Beberapa anggota DPRA mengakui bahwa hingga kini belum ada dokumen resmi yang menunjukkan adanya alokasi baru selain Dana Otsus dan transfer ke daerah sebagaimana mekanisme standar APBN.
Pertanyaan Besar: Dari Mana Rp8 Triliun Itu Berasal?
Pertanyaan utama yang terus menggema di publik adalah: jika benar ada tambahan dana Rp8 triliun, masuk dalam kategori apa?
Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), sumber pendapatan Aceh hanya meliputi:
- Penerimaan Asli Aceh (PAA)
Dana Perimbangan
– Dana Bagi Hasil Pajak dan SDA
– Dana Alokasi Umum
– Dana Alokasi KhususDana Otonomi Khusus
Sumber sah lainnya, seperti hibah dan pinjaman
Dari daftar tersebut, para pengamat menilai tidak ada celah logis yang bisa menjelaskan keberadaan dana Rp8 triliun tanpa mekanisme formal.
Apakah Presiden Boleh Memberikan Dana Langsung kepada Daerah?
Para ahli hukum keuangan negara dengan tegas mengingatkan bahwa: Presiden tidak memiliki kewenangan memberikan dana langsung kepada pemerintah daerah tanpa persetujuan DPR-RI.
Semua alokasi ke daerah wajib masuk dalam APBN dan mengikuti mekanisme yang diatur oleh: UU Keuangan Negara, UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Jika pun berbentuk hibah, harus dicatat dalam APBN dan APBA sesuai PMK 224/PMK.07/2017 dan perubahannya (PMK 82/PMK.07/2022), serta wajib memiliki perjanjian hibah yang hingga kini belum pernah terdengar terkait Aceh.
Pengamat ekonomi Aceh dan akademisi perguruan tinggi dari kampus Universitas Syiah Kuala Banda Aceh ikut memberikan pendapat.
- Tidak Ada Dasar Anggaran dalam Dokumen Negara
“Saya sudah mencermati dokumen RAPBN 2026. Tidak ada alokasi khusus sebesar Rp8 triliun untuk Aceh. Angka itu sangat besar dan mustahil muncul tanpa pembahasan panjang di DPR-RI,” ujarnya.
- Klaim Tambahan Dana Perlu Diverifikasi
“Jika benar ada janji presiden, maka harus ada surat resmi, berita acara, atau paling tidak rencana mekanisme penyalurannya. Sampai sekarang kita tidak melihat satu pun bukti administratif.”
- Kemungkinan Hibah? Hampir Tidak Mungkin
“Hibah dari pemerintah pusat tetap harus tercatat dalam APBN. Pemerintah pusat tidak punya anggaran ‘di luar buku’ untuk tiba-tiba diberikan ke daerah.”
- Risiko Misinformasi dan Dampak Politik
“Pernyataan semacam ini berbahaya bila tidak didukung dokumen. Publik bisa tersesat, pemerintah daerah bisa salah membuat perencanaan anggaran, dan suasana politik menjadi keruh.”
- ‘Halusinasi Anggaran’
“Tanpa bukti formal, tambahan Rp8 triliun itu tidak lebih dari halusinasi anggaran. Sesuatu yang dibayangkan tetapi tidak memiliki dasar fiskal dan legal,” tegasnya.
Beberapa anggota DPRA menyatakan bahwa mereka tidak pernah menerima pemberitahuan resmi terkait tambahan dana tersebut.
Seorang anggota Banggar DPRA yang meminta identitasnya dirahasiakan mengatakan:
“Kalau benar ada dana sebesar itu, mestinya sudah masuk dalam dokumen awal atau paling tidak ada konsultasi dengan pemerintah Aceh dan DPRA. Sampai hari ini tidak ada.”
Dalam Rancangan APBA 2026 yang diserahkan oleh Sekda Aceh M Nasir Syamaun kepada Pimpinan DPRA beberapa hari lalu, juga tidak ada penambahan jumlah APBA yakni diajukan hanya Rp10,33 triliun, lebih rendah dari APBA 2025 sebesar Rp11 triliun.
Klaim Rp8 Triliun Masih Misteri
Hingga berita ini diturunkan tidak ada dokumen resmi dari pemerintah pusat, tidak ada alokasi dalam RAPBN 2026.
Tidak ada perjanjian hibah antara pemerintah pusat dan Aceh, tidak ada mekanisme legal yang memungkinkan presiden memberikan dana langsung sebesar itu.
Semuanya mengarah pada satu kesimpulan sementara: tambahan Rp8 triliun itu belum terbukti keberadaannya.
Jika tidak ada bukti administratif, maka angka tersebut layak disebut sebagai “halusinasi anggaran”.
Publik Aceh kini menunggu klarifikasi resmi dari Pemerintah Aceh maupun pemerintah pusat, agar polemik ini tidak berkembang menjadi mis informasi yang dapat mempengaruhi perencanaan keuangan daerah.



