BANDA ACEH, Infoaceh.net — Dugaan skandal keuangan kembali mencoreng wajah perbankan syariah di Aceh. Seorang nasabah Bank Aceh Syariah (BAS) berinisial EM, mendadak kehilangan dana hingga Rp2,1 miliar dari rekeningnya di Kantor Cabang Pembantu (KCP) Peunayong, Banda Aceh.
Dana itu hilang melalui rangkaian transaksi setor–tarik dalam jumlah besar yang tidak pernah ia ketahui, apalagi ia izinkan.
Kasus ini bukan sekadar kehilangan saldo, melainkan mengarah pada dugaan penyalahgunaan data nasabah, fraud internal, hingga potensi skema pencucian uang (money laundering) yang melibatkan pihak luar dan oknum internal bank.
EM awalnya tidak menaruh curiga. Ia jarang melakukan transaksi besar dan mempercayakan dananya di Bank Aceh Syariah yang selama ini dianggap aman. Namun semuanya berubah ketika ia mengecek rekening pada awal November dan mendapati saldo yang semula miliaran rupiah hanya tersisa beberapa juta.
“Seperti mimpi buruk. Rekening saya digunakan orang lain tanpa pengetahuan saya. Saya sama sekali tidak pernah memberikan kuasa,” ujar EM pekan lalu.
Setelah dilakukan pengecekan detail, ditemukan sederet transaksi yang mengalir masuk, lalu keluar dalam waktu cepat—pola yang oleh sejumlah auditor dikenal sebagai “layering”, salah satu teknik klasik dalam pencucian uang.
Nama DSL Mencuat: Anak Pengusaha Besar yang Diduga Punya “Akses Khusus”
Dalam investigasi internal awal BAS, muncul nama seorang pria berinisial DSL, yang diduga melakukan sebagian besar transaksi tersebut. DSL dikenal luas sebagai anak seorang pengusaha besar di Aceh, sekaligus terlibat aktif dalam struktur sebuah partai politik nasional di Aceh.
Dugaan publik pun menguat: apakah status sosial DSL memberinya ruang istimewa di KCP Peunayong?
Pakar ekonomi-politik Aceh, menilai kemungkinan itu tidak bisa diabaikan.
“Ketika seseorang memiliki hubungan bisnis dan politik kuat, sering muncul privilege tak kasat mata. Yang berbahaya adalah ketika privilege itu masuk ke sektor keuangan,” ujarnya.
Lubang Besar dalam SOP: Surat Kuasa Tak Ada, Verifikasi Tak Dilakukan
Audit awal menemukan kejanggalan serius: Tidak pernah ada surat kuasa dari EM. Tidak ada verifikasi tanda tangan oleh pejabat bank. Tidak ada rekaman CCTV yang menunjukkan EM hadir di bank. Transaksi terjadi berulang dalam jumlah besar tanpa alarm red-warning dari sistem.
Sumber internal BAS menyebut:
“Untuk transaksi ratusan juta saja biasanya sangat ketat. Apalagi miliaran. Kalau ini bisa lolos berkali-kali, berarti ada yang membuka pintu dari dalam.”
Kepala KCP Peunayong Ikut Terseret: Ditanya Soal Dugaan Pembiaran
Nama MR, Kepala KCP Peunayong, juga menjadi sorotan.
Terungkap dugaan adanya hubungan kedekatan antara MR dan DSL.
Beberapa pegawai menilai MR tidak segera menghentikan atau meninjau transaksi-transaksi besar tersebut meski terjadi berulang kali.
Pengamat tata kelola perbankan syariah menegaskan: “Jika pimpinan cabang lalai atau membiarkan transaksi mencurigakan terjadi tanpa verifikasi, maka itu bukan hanya kelalaian administratif, tetapi pelanggaran berat dalam governance bank.”
Ia menilai investigasi terhadap MR harus dilakukan secara terbuka dan tidak boleh hanya sebatas pemeriksaan internal yang tertutup.
Red Flag Money Laundering
Pakar perbankan memberikan analisis teknisnya. “Setor-tarik cepat, akun atas nama orang ketiga, tidak ada kuasa resmi, dan hubungan personal antara Pelaku–Oknum Bank adalah pola textbook kasus money laundering. Jika benar demikian, Bank Aceh wajib melapor ke PPATK.”
Ia bahkan menilai kasus ini sangat mungkin masuk kategori fraud terorganisir, bukan human error.
Pihak keluarga EM menyampaikan permintaan kepada Bank Aceh Syariah untuk: membuka seluruh proses audit secara transparan, menonaktifkan sementara pegawai yang diduga terkait, mengembalikan dana Rp2,1 miliar, serta melibatkan auditor independen dan aparat penegak hukum.
Lembaga antikorupsi lokal menyebut kasus ini harus ditangani serius. “Jika benar ada praktik penyalahgunaan data nasabah, maka kemungkinan besar ini bukan kasus yang berdiri sendiri. Ada potensi gunung es. Aparat penegak hukum harus turun, tidak bisa hanya mengandalkan audit internal.” Ia juga meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) segera turun tangan.
Bank Aceh Masih Bungkam, Kepercayaan Publik Taruhannya
Hingga tulisan ini diterbitkan, Bank Aceh Syariah belum memberikan keterangan resmi selain pengakuan bahwa audit masih berjalan.
Diamnya manajemen dianggap sebagian pihak sebagai langkah yang membuat kepercayaan publik kian turun.
Pengamat komunikasi publik, menilai: “Dalam krisis keuangan, kecepatan komunikasi menentukan reputasi. Terlambat merespons sama dengan membiarkan isu liar mengambil alih narasi.”
Kasus hilangnya dana Rp2,1 miliar ini bukan hanya persoalan seorang nasabah, tetapi menyangkut: keamanan data nasabah, integritas pegawai bank, potensi pencucian uang, tata kelola bank daerah, citra perbankan syariah di Aceh.
Jika investigasi tidak dilakukan secara transparan, Bank Aceh Syariah terancam menghadapi krisis kepercayaan berkepanjangan.
Kini publik hanya menunggu satu hal: apakah Bank Aceh Syariah memilih jalur transparansi dan penegakan hukum, atau membiarkan skandal ini membesar dan mengguncang pondasi kepercayaan masyarakat Aceh?.



