Banda Aceh, Infoaceh.net — Akademisi sekaligus Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Aceh, Safuadi ST MSc PhD, menyampaikan kondisi pendidikan Indonesia saat membawakan Orasi Ilmiah pada Milad ke-62 UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Kamis (27/11/2025).
Di hadapan para profesor, pimpinan kampus, dan sivitas akademika, Safuadi menegaskan bahwa Indonesia sedang menghadapi masalah fundamental dalam sistem pendidikannya.
“Masalah kita bukan kekurangan regulasi, tetapi salah desain. Pendidikan Indonesia penuh dokumen, tetapi miskin implementasi,” tegas Safuadi.
Menurutnya, pendidikan tinggi Islam di Indonesia berada pada “persimpangan sejarah” yang menuntut keberanian melakukan lompatan perubahan.
Ia mengidentifikasi empat krisis besar yang masih membelit perguruan tinggi Islam, yakni krisis relevansi, krisis inovasi, krisis tata kelola, dan krisis ekosistem riset.
Dorong Transformasi Academik dan Global Engagement
Safuadi menekankan perguruan tinggi Islam tidak boleh lagi bertumpu pada pendekatan lama yang birokratis, tertutup, dan tidak adaptif terhadap perkembangan dunia.
Kampus, kata dia, harus beralih pada ekosistem akademik yang berbasis riset, terhubung secara global, dan mampu mengintegrasikan ilmu agama dengan ilmu modern.
Untuk menjawab tantangan tersebut, ia memperkenalkan konsep Taylor-Made Education, sebuah model pendidikan presisi yang memungkinkan perguruan tinggi menyiapkan lulusan sesuai tuntutan zaman. Konsep ini, jelasnya, dibangun melalui empat kluster unggulan:
1. Moderate Islamic Leadership
2. Halal Economy & Social Finance
3. Blue-Green Islamic Development
4. Policy Studies & Public Ethics
“Empat kluster ini bukan hanya ikon akademik. Ini adalah platform strategis agar perguruan tinggi Islam mampu memimpin peradaban, bukan sekadar menjadi pengikut,” ujarnya.
Rektor Harus Jadi “CEO Peradaban”
Dalam orasinya, Safuadi juga menyoroti aspek pendanaan dan tata kelola perguruan tinggi. Ia menilai transformasi mustahil tercapai apabila kampus masih mengandalkan sistem pembiayaan lama yang bergantung sepenuhnya pada APBN atau pemerintah daerah.
Ia menekankan pentingnya pengembangan endowment fund dan manajemen keuangan modern. Dengan perubahan itu, posisi rektor juga harus bergeser.
“Rektor bukan lagi administrator, tetapi CEO peradaban,” kata Safuadi.
Menurutnya, pemimpin perguruan tinggi harus memiliki kemampuan manajerial, visi strategis, dan jaringan global yang kuat.
Menutup orasi, Safuadi menyampaikan tiga agenda besar reformasi yang harus dilakukan perguruan tinggi Islam:
1. Reformasi akademik
2. Reformasi tata kelola dan pendanaan
3. Reformasi ekosistem riset.
“Tantangan kita bukan menjaga sejarah masa lalu, tetapi menciptakan sejarah baru. Perguruan tinggi Islam harus menjadi motor peradaban, bukan sekadar institusi penghasil sarjana,” ujarnya.



