Bireuen, Infoaceh.net — Di tengah kepanikan warga dan rumah-rumah yang hanyut diterjang banjir, muncul persoalan lain yang tak kalah kelam di Kabupaten Bireuen.
Relawan kemanusiaan yang datang membawa bantuan justru dipaksa membayar biaya selangit untuk menyeberangkan bantuan logistik menggunakan boat.
Di lokasi jembatan putus kawasan Kutablang, Bireuen, pungutan untuk sekali penyeberangan itu disebut mencapai Rp1,4 juta hanya untuk jarak sekitar 150 meter.
Para relawan kemanusiaan menyebut tarif tersebut dipaksakan, bahkan dibebankan dalam kondisi darurat ketika bantuan sangat dibutuhkan korban banjir.
Relawan yang turun ke lokasi menceritakan bahwa mereka dilarang mengangkut logistik sendiri dan diwajibkan membayar biaya harlan dan ongkos boat yang dinilai tidak masuk akal.
Total pungutan itu membuat bantuan kemanusiaan seolah berubah menjadi “komoditas yang wajib membayar upeti”.
Salah seorang relawan mengaku sangat terpukul dengan perlakuan tersebut.
“Ini benar-benar mencekik. Kami datang membawa bantuan, bukan membawa anggaran untuk diperas. Pungutan liar seperti ini tidak masuk akal,” ujarnya, Rabu (10/12).
Temuan ini memantik respons keras. Salah satunya Pemerhati Kebijakan Publik Aceh, Drs M. Isa Alima, yang menyebut praktik tersebut sebagai pengkhianatan terhadap nilai kemanusiaan.
“Perilaku seperti ini adalah bencana baru. Air menenggelamkan rumah, tetapi keserakahan menenggelamkan nurani. Mengambil kesempatan dalam kesempitan adalah tindakan yang dikutuk akal sehat, moral dan agama,” tegasnya.
Nada serupa juga disampaikan Ketua PBN Aceh, yang menilai pungutan tersebut sudah masuk kategori pemerasan.
“Saat relawan membawa harapan, mereka dijerat pungutan liar. Ini bukan bantuan jasa, ini pemerasan. Luka seperti ini harus dihentikan,” katanya.
Publik mendesak agar seluruh pemangku otoritas — mulai dari Aparat Penegak Hukum (APH), pemerintah daerah, hingga para ulama — mengambil tindakan nyata.
“APH, Pemda dan ulama harus bersuara dan bertindak. Tinjau dari aspek sosial, hukum, adat, dan syariat. Tegur pelaku dan tindak sesuai aturan. Jangan biarkan mereka berlindung di balik alasan situasi darurat,” ujar Isa Alima.
Aceh saat ini sedang berduka. Banjir menutup jalan-jalan dan memutus akses warga, namun yang mengalir lebih deras adalah rasa kecewa terhadap oknum yang memanfaatkan musibah sebagai kesempatan mencari keuntungan pribadi.
Kini publik menunggu langkah nyata: Apakah hukum akan hadir?
Apakah pemerintah akan berdiri tegak membela rakyat? Apakah para ulama akan memagari moral yang mulai retak?
Karena ketika keserakahan tumbuh di atas musibah, itu bukan sekadar pelanggaran — itu adalah pengkhianatan terhadap kemanusiaan.



