Banda Aceh, Infoaceh.net — Bencana besar banjir bandang dan longsor yang melanda Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dalam beberapa waktu terakhir, hingga kini belum juga ditetapkan sebagai Bencana Nasional oleh pemerintah pusat.
Padahal, dampak yang ditimbulkan telah meluas, memakan korban jiwa lebih seribu Orang meninggal dunia, melumpuhkan infrastruktur, serta membuat ratusan ribu warga kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian.
Di berbagai daerah terdampak, kondisi pengungsi masih jauh dari kata layak.
Hingga hari ini, sejumlah korban bencana dilaporkan masih mengalami kesulitan mendapatkan bahan makanan, air bersih, layanan kesehatan, serta obat-obatan.
Bahkan, tidak sedikit warga yang mengaku belum tersentuh bantuan sama sekali, terutama mereka yang berada di wilayah terpencil dan terisolasi akibat rusaknya akses jalan dan jembatan.
Situasi ini memunculkan kegelisahan dan kemarahan publik. Sejumlah warga sipil, relawan, dan pegiat kemanusiaan menilai penanganan bencana berjalan lamban dan tidak sebanding dengan skala kerusakan yang terjadi.
Kekecewaan semakin menguat ketika pemerintah dinilai menolak atau membatasi bantuan asing dari luar negeri, baik dari komunitas internasional maupun lembaga kemanusiaan asing, dengan alasan negara masih mampu mengatasi bencana secara mandiri.
“Di satu sisi pemerintah dengan mudah menyatakan ‘negara mampu mengatasi’, seolah semua terkendali. Namun di sisi lain, ketika berhadapan langsung dengan rakyat yang menjadi korban, yang terdengar justru permintaan Presiden agar masyarakat bersabar, dengan alasan keterbatasan kemampuan negara,” ujar seorang warga Banda Aceh yang aktif dalam penggalangan bantuan, Sabtu (13/12).
Pernyataan Presiden Prabowo Subianto di Bener Meriah yang menyebut pemerintah “tidak memiliki tongkat Nabi Musa” untuk menyelesaikan persoalan secara instan juga menuai kritik tajam.
Bagi para korban dan relawan, pernyataan tersebut dinilai tidak empatik, melukai perasaan masyarakat yang sedang berjuang bertahan hidup di tengah keterbatasan.
“Korban bencana tidak menuntut keajaiban. Mereka hanya ingin makan, minum, obat, dan tempat berlindung yang layak. Ini soal kemanusiaan, bukan soal harga diri atau gengsi negara,” kata seorang relawan kemanusiaan di Aceh Utara.
Sejumlah elemen masyarakat sipil menilai bahwa mempertahankan “harga diri” dengan menolak bantuan luar, sementara di lapangan masih ada warga yang kelaparan dan sakit tanpa penanganan memadai, justru berpotensi memperpanjang penderitaan rakyat.
Kritik keras pun bermunculan di media sosial dan ruang publik, menuntut pemerintah agar lebih terbuka, rendah hati, dan mengutamakan keselamatan warga.
Sebagai bentuk kepedulian dan tekanan moral kepada penguasa, warga sipil dari berbagai daerah mulai menggalang dukungan melalui kampanye digital dan aksi solidaritas.
Salah satunya melalui penyebaran flyer bertagar #SaveSumatera dan #TetapkanBencanaNasional, yang menyerukan agar pemerintah segera menetapkan status Bencana Nasional untuk Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat.
Seorang warga sipil yang turut menginisiasi gerakan tersebut menegaskan bahwa upaya ini murni dilandasi niat kemanusiaan.
“Saya bukan siapa-siapa, hanya warga biasa. Saya hanya mengajak saudara-saudara yang masih punya kepedulian untuk bersuara. Jika penetapan Bencana Nasional dilakukan, maka bantuan, anggaran, dan sumber daya akan jauh lebih besar dan cepat,” ujarnya.
Ia berharap, tekanan publik dan suara hati nurani masyarakat dapat “melunakkan hati para penguasa” di negeri ini, agar kepentingan korban benar-benar menjadi prioritas utama, bukan sekadar narasi politik dan pencitraan.
Dalam seruannya, warga tersebut juga mengutip sebuah hadits Nabi Muhammad SAW sebagai pengingat moral bagi semua pihak: “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim).
Bagi para korban bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, penetapan status Bencana Nasional bukan sekadar istilah administratif.
Ia dipandang sebagai pintu masuk untuk penanganan yang lebih serius, terkoordinasi, dan berkeadilan—demi menyelamatkan nyawa dan masa depan ribuan rakyat yang kini menggantungkan harapan pada kepedulian negara.



