Jakarta, Infoaceh.net — Amnesty International Indonesia mengkritik klaim pemerintah pusat yang menyatakan Indonesia mampu menangani sendiri bencana banjir bandang dan tanah longsor di Aceh serta sejumlah wilayah Sumatera Utara dan Sumatera Barat tanpa bantuan internasional.
Amnesty menilai klaim tersebut tidak sesuai dengan kondisi faktual di lapangan dan berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Kritik itu disampaikan melalui surat terbuka bernomor 248/AII–Presiden RI/XII/2025 tertanggal 12 Desember 2025, yang ditujukan langsung kepada Presiden RI Prabowo Subianto.
Dalam surat tersebut, Amnesty mendesak pemerintah agar segera menetapkan banjir bandang dan tanah longsor di Aceh dan wilayah Sumatera lainnya sebagai bencana nasional ekologis.
“Amnesty International menilai krisis ini telah membawa dampak kemanusiaan yang luar biasa dan oleh karenanya pemerintah harus segera menetapkannya sebagai bencana nasional,” tulis Amnesty dalam surat terbuka yang ditandatangani Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia.
Krisis Kemanusiaan dan Potensi Pelanggaran HAM
Amnesty menyatakan keprihatinan mendalam atas penanganan bencana banjir bandang dan longsor yang dinilai telah berkembang menjadi krisis kemanusiaan serius, diperparah oleh lambannya respons negara serta kerusakan lingkungan yang masif dan sistematis.
Dalam perspektif HAM, bencana tidak hanya dilihat dari peristiwa alamnya, tetapi juga dari kemampuan dan kesigapan negara melindungi hak hidup, kesehatan, pangan, air bersih, dan tempat tinggal layak bagi warga terdampak.
Korban Jiwa Terus Bertambah
Mengutip data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per Selasa, 16 Desember 2025, Amnesty mencatat jumlah korban meninggal dunia akibat banjir bandang dan longsor di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatra Barat telah mencapai 1.053 jiwa.
Khusus di Provinsi Aceh, jumlah korban meninggal tercatat sebanyak 449 jiwa.
Rekapitulasi dampak bencana di Aceh menunjukkan skala kehancuran yang sangat luas. Dari 18 kabupaten/kota, tercatat 524.828 kepala keluarga atau 1.994.866 jiwa terdampak. Selain korban meninggal, 31 orang dilaporkan hilang, 4.939 orang luka ringan, dan 474 orang luka berat.
Kerusakan fasilitas publik juga signifikan, meliputi 258 gedung/kantor, 287 rumah ibadah, 206 fasilitas kesehatan, dan 736 fasilitas pendidikan. Infrastruktur vital turut terdampak dengan kerusakan pada 521 ruas jalan serta 332 unit jembatan.
Sementara itu, kerusakan harta benda warga mencakup 174.220 rumah, 186.868 ekor ternak, 89.337 hektare sawah, 21.860 hektare kebun, serta 39.426 hektare tambak.
Amnesty memperingatkan angka-angka tersebut masih berpotensi meningkat, mengingat proses evakuasi belum sepenuhnya rampung dan kapasitas pemerintah daerah dinilai masih terbatas.
Klaim Pemerintah Mampu Tangani Dipersoalkan
Dalam suratnya, Amnesty secara khusus menyoroti pernyataan pemerintah pusat yang menyebut Indonesia mampu menangani bencana tanpa bantuan internasional.
Menurut Amnesty, klaim tersebut tidak mencerminkan realitas di lapangan.
“Di lapangan, kebutuhan warga akan makanan, air bersih, layanan kesehatan, dan tempat tinggal aman jauh melampaui kapasitas yang tersedia,” tulis Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia.
Amnesty juga mengutip pernyataan Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) yang mengakui bahwa bantuan pemerintah belum menjangkau seluruh wilayah terdampak secara memadai.
Bencana Ekologis akibat Kerusakan Lingkungan
Amnesty menegaskan banjir bandang dan longsor di Aceh–Sumatera bukan semata bencana alam, melainkan bencana ekologis akibat kerusakan lingkungan yang berlangsung bertahun-tahun.
Disebutkan bahwa dalam rentang 2016 hingga 2024, Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat kehilangan lebih dari 1,4 juta hektare hutan, terutama akibat aktivitas pertambangan, ekspansi perkebunan kelapa sawit, serta penerbitan izin pemanfaatan kawasan hutan.
Kerusakan daerah aliran sungai (DAS) dan hilangnya fungsi hutan sebagai penyangga ekosistem dinilai memperparah dampak hujan ekstrem dan fenomena cuaca seperti siklon tropis.
Negara Wajib Mencari Bantuan Internasional
Amnesty menegaskan dalam kondisi darurat, negara tidak hanya boleh, tetapi wajib mencari bantuan internasional apabila kapasitas nasional tidak mencukupi.
Kewajiban tersebut diatur dalam berbagai instrumen HAM internasional, termasuk Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR) yang telah diratifikasi Indonesia.
“Negara tidak hanya boleh, tetapi wajib mencari bantuan internasional untuk memenuhi hak-hak dasar warga dalam kondisi darurat,” tegas Amnesty.
Dalam surat terbukanya, Amnesty International Indonesia menyampaikan lima tuntutan utama kepada Presiden RI:
1. Menetapkan banjir bandang dan longsor Aceh-Sumatera sebagai bencana nasional ekologis
2. Membuka akses bantuan kemanusiaan internasional secara transparan dan terkoordinasi
3. Memastikan pemenuhan hak dasar korban, terutama kelompok rentan seperti perempuan dan anak
4. Melakukan evaluasi independen dan transparan terhadap respons pemerintah, termasuk sistem peringatan dini BMKG dan distribusi bantuan
5. Menegakkan akuntabilitas hukum terhadap perusahaan dan unsur pemerintah yang berkontribusi pada deforestasi dan kerusakan ekologis.
Amnesty menegaskan kegagalan negara memenuhi hak hidup, hak atas kesehatan, dan hak atas tempat tinggal layak dalam situasi darurat dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM serius.



