Banda Aceh, Infoaceh.net — Di tengah penderitaan ratusan ribu warga Aceh akibat bencana banjir bandang dan longsor yang melanda sejumlah kabupaten, pertanyaan besar mulai mengemuka di ruang publik: mengapa hingga kini Pemerintah Aceh belum secara terbuka menyampaikan surat permohonan resmi untuk penetapan status Bencana Nasional kepada Presiden Republik Indonesia?
Pertanyaan ini bukan sekadar wacana politik, melainkan kegelisahan kolektif rakyat Aceh yang melihat langsung kondisi para korban di lapangan.
Bencana yang melanda wilayah seperti Bener Meriah, Aceh Tengah, Aceh Tamiang, Gayo Lues, Aceh Utara, Aceh Timur, Bireuen, Pidie Jaya hingga daerah lain telah merenggut mata pencaharian, menghancurkan rumah, ladang, sawah, dan memutus akses logistik warga dalam waktu yang tidak singkat.
Publik Aceh kini mempertanyakan secara terbuka: apakah Gubernur Aceh telah mengirimkan surat resmi kepada Presiden RI untuk meminta penetapan status Bencana Nasional?
Hingga hari ini, tidak ada informasi terbuka, baik dari pemerintah maupun pemberitaan media arus utama, yang secara jelas menunjukkan keberadaan surat resmi tersebut.
Padahal, dalam sistem administrasi negara, penetapan status Bencana Nasional memiliki mekanisme dan dasar hukum yang jelas.
Salah satu syarat pentingnya adalah adanya permohonan resmi dari kepala daerah terdampak atau pemerintah provinsi kepada pemerintah pusat. Tanpa surat resmi itu, pemerintah pusat memiliki ruang administratif untuk tidak menetapkan status tersebut.
Isu ini semakin menguat ketika beredar kabar bahwa Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (Mualem), telah menyampaikan permintaan secara lisan kepada Presiden Prabowo Subianto. Namun, publik menilai penyampaian secara lisan tidak memiliki kekuatan hukum maupun administratif.
Dalam tata kelola pemerintahan, yang dapat ditagih, dikawal dan dipertanggungjawabkan adalah dokumen resmi, bukan sekadar komunikasi informal.
Penetapan status Bencana Nasional bukan sekadar simbol. Status ini menjadi pintu masuk bagi pengerahan sumber daya negara secara maksimal, mulai dari anggaran yang lebih besar, pelibatan lintas kementerian dan lembaga, hingga kemudahan akses bantuan internasional yang terkoordinasi dan terkontrol.
Tanpa status tersebut, penanganan bencana cenderung terbatas pada kemampuan daerah dan bantuan sektoral yang sifatnya parsial.
Akibatnya, banyak korban masih hidup dalam kondisi darurat berkepanjangan. Di sejumlah wilayah, warga dilaporkan harus berjalan kaki memikul bantuan karena akses jalan rusak dan minimnya dukungan alat berat serta transportasi.
Yang paling terdampak adalah kelompok rentan: anak-anak, perempuan, lansia dan masyarakat miskin yang kehilangan rumah serta sumber penghidupan.
Mereka bukan angka statistik, melainkan manusia yang kini berjuang untuk sekadar bertahan hidup.
Publik Aceh tidak menutup mata terhadap upaya pemerintah daerah. Kunjungan Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau Mualem dan Wakil Gubernur Fadhlullah ke lokasi bencana serta penyaluran bantuan patut diapresiasi.
Namun, banyak pihak menilai bahwa pembagian bantuan, seberapa pun pentingnya, dapat dilakukan oleh banyak pihak—relawan, organisasi sosial, hingga masyarakat sipil.
Berbeda halnya dengan kewenangan administratif. Menandatangani dan mengirimkan surat resmi permohonan penetapan status Bencana Nasional adalah kewenangan eksklusif kepala daerah atau wakilnya.
Kewenangan ini tidak bisa diwakilkan dan tidak bisa digantikan oleh siapa pun.
Karena itu, publik menilai persoalan ini bukan soal kehadiran simbolik di lapangan, melainkan soal keberanian dan keseriusan mengambil langkah administratif strategis demi masa depan korban bencana.
Melalui berbagai forum diskusi dan pernyataan terbuka, masyarakat sipil menyerukan kepada para ulama Aceh, tokoh adat, tokoh masyarakat, organisasi kemasyarakatan, partai politik, serta elemen relawan untuk bersuara bersama.
Seruan ini bukan ditujukan langsung kepada pemerintah pusat, melainkan kepada Gubernur Aceh.
Pasalnya, rujukan terkuat pemerintah pusat dalam menetapkan status Bencana Nasional adalah permohonan resmi dari kepala daerah. Tanpa itu, desakan ke pusat dinilai akan kehilangan pijakan administratif.
Dorongan moral dari ulama, tokoh masyarakat, dan suara korban diharapkan dapat menjadi tekanan positif agar Pemerintah Aceh segera mengirimkan surat resmi tersebut kepada Presiden RI. Publik menegaskan, yang diminta bukanlah janji politik atau bantuan tambahan yang bersifat simbolik, melainkan selembar surat resmi bertanda tangan.
Hingga kini, dampak bencana belum berlalu. Korban masih banyak, penderitaan masih nyata. Masih ada waktu untuk mengambil langkah yang tepat dan bermartabat.
Masyarakat Aceh mengingatkan bahwa penetapan status Bencana Nasional bukan untuk mencari sensasi, tetapi untuk memastikan negara hadir sepenuhnya di tengah krisis kemanusiaan.
“Jangan sampai rakyat menilai bahwa status Bencana Nasional justru tertahan di tingkat pemerintah daerah,” ujar salah seorang aktivis kemanusiaan di Banda Aceh.
Refleksi pun diajukan kepada semua pihak: jika kita sendiri berada di posisi korban—anak kelaparan, keluarga kehilangan rumah, hidup dalam ketidakpastian—akankah kita memilih diam dan menunggu?
Seruan ini diharapkan menjadi pemicu perhatian dan tindakan nyata. Karena bagi rakyat Aceh, ini bukan soal politik, melainkan soal kemanusiaan dan tanggung jawab moral terhadap sesama.



