Banda Aceh, Infoaceh.net — Air memang telah surut dari halaman rumah, perkampungan penduduk, pertokoan dan pematang sawah, namun luka akibat banjir masih membekas dalam denyut kehidupan masyarakat Aceh.
Dinding rumah yang hancur, lahan pertanian yang gagal tanam, hingga etalase usaha kecil yang kosong menjadi penanda bahwa bencana belum berlalu.
Di tengah kondisi itu, rakyat menunggu lebih dari sekadar bantuan darurat: mereka menanti kehidupan yang kembali bergerak.
Pemerhati kebijakan publik Aceh, Drs M. Isa Alima, menegaskan bahwa fase pascabencana harus dijadikan momentum untuk berpikir jauh ke depan dan bertindak secara berkelanjutan.
Bantuan darurat, menurutnya, hanyalah jembatan sementara, bukan tujuan akhir. Yang menentukan masa depan masyarakat korban banjir adalah pemulihan ekonomi rakyat yang dirancang matang, dikerjakan secara kolaboratif dan diawasi dengan nurani.
“Setelah bencana, yang paling penting adalah menghidupkan kembali ekonomi masyarakat korban banjir agar pemasukan kembali ada. Bantuan ada masanya berhenti, seperti yang pernah kita alami pascatsunami,” ujar Isa Alima, Kamis (18/12/2025).
Ia mengingatkan, dampak banjir menyentuh hampir seluruh lapisan ekonomi bawah. Petani gagal tanam kehilangan sumber penghidupan, pedagang kecil kehabisan modal, sementara pekerja harian terpaksa menghentikan aktivitasnya.
Dalam situasi seperti ini, sinergi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjadi sebuah keharusan, bukan sekadar pilihan.
Isa Alima mendorong langkah-langkah konkret dan terukur, di antaranya penyediaan modal usaha tanpa bunga bagi UMKM, bantuan bibit serta sarana produksi bagi petani, pembukaan kembali akses pasar rakyat, hingga pelatihan keterampilan kerja agar tenaga lokal lebih berdaya saing.
Selain itu, ia menilai program padat karya sangat relevan untuk segera dijalankan.
“Perbaikan infrastruktur desa, normalisasi saluran air, hingga pembersihan fasilitas umum bisa melibatkan masyarakat setempat. Lingkungan pulih, pendapatan bergerak, dan kebersamaan sosial pun menguat,” katanya.
Ia menegaskan, kehadiran negara pascabencana tidak cukup hanya cepat, tetapi juga harus tepat sasaran. Program pemulihan ekonomi, kata dia, mesti terintegrasi dengan rencana pembangunan daerah dan nasional, bukan program jangka pendek yang habis seiring berakhirnya anggaran.
Belajar dari pengalaman pahit pascatsunami, Isa Alima mengingatkan bahaya ketergantungan terhadap bantuan.
Ketika bantuan dihentikan, masyarakat harus sudah memiliki pegangan untuk berdiri mandiri. Karena itu, investasi pada pendidikan, pelatihan, dan pengembangan keterampilan menjadi jalan panjang yang wajib ditempuh secara konsisten.
Selain aspek ekonomi, Isa Alima juga menyoroti persoalan perumahan bagi warga yang rumahnya rusak atau hancur akibat banjir.
Ia menilai proses pembangunan rumah pascabencana harus dipercepat dan disederhanakan.
“Yang terpenting rumah segera berdiri, agar martabat dan rasa aman rakyat kembali pulang. Sampaikan kepada pemerintah pusat, dalam hal ini Presiden Prabowo Subianto melalui Kementerian Perumahan Rakyat, agar penyediaan perumahan pascabencana diprioritaskan tanpa birokrasi berbelit,” tegasnya.
Di akhir pernyataannya, Isa Alima menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana bencana, serta pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.
Menurutnya, kepercayaan publik adalah fondasi yang tidak boleh runtuh, terutama ketika rumah, sawah, dan harapan sedang dibangun kembali.
Pascabanjir, menghidupkan kembali ekonomi rakyat bukan sekadar pilihan kebijakan, melainkan amanah moral negara. Dari denyut ekonomi yang bangkit, Aceh memiliki peluang menata masa depan yang lebih kuat, lebih adil, dan lebih berdaya.



