Jakarta, Infoaceh.net — Keputusan Pemerintah Indonesia menolak bantuan asing di tengah bencana banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh dan sejumlah wilayah di Pulau Sumatera memicu keheranan di kalangan negara-negara Timur Tengah. Sikap tersebut dinilai tidak lazim, mengingat skala bencana yang masif serta banyaknya korban jiwa dan pengungsi.
Bencana hidrometeorologi yang terjadi sejak akhir November hingga awal Desember 2025 dipicu hujan deras berkepanjangan. Data sementara mencatat lebih dari 1.000 orang meninggal dunia, ratusan lainnya masih dinyatakan hilang, dan lebih dari satu juta warga terpaksa mengungsi akibat rumah dan permukiman mereka rusak atau terendam banjir.
Kerusakan infrastruktur terjadi secara luas. Jalan nasional dan daerah terputus, jembatan runtuh, jaringan listrik dan telekomunikasi lumpuh, serta sekolah dan fasilitas kesehatan terdampak. Sejumlah wilayah di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat bahkan sempat terisolasi selama berhari-hari. Nilai kerugian ekonomi ditaksir mencapai 3,1 miliar dolar AS atau sekitar Rp51 triliun.
Namun, di tengah situasi darurat tersebut, pemerintah Indonesia memilih untuk tidak membuka jalur bantuan internasional. Bahkan bantuan kemanusiaan berupa 30 ton beras dari Uni Emirat Arab (UEA) untuk korban banjir di Medan dikembalikan.
“Kami kembalikan kepada Uni Emirat Arab. Kota Medan tidak menerima,” ujar Wali Kota Medan Rico Waas kepada wartawan, Kamis (18/12/2025).
Rico menjelaskan, keputusan tersebut diambil karena pemerintah pusat belum menetapkan kebijakan untuk menerima bantuan asing. Ia menegaskan, langkah itu dilakukan setelah adanya koordinasi dengan berbagai pihak, termasuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan pemerintah provinsi.
“Intinya, setelah kami cek regulasi dan berkoordinasi dengan BNPB serta Kementerian Pertahanan, bantuan tersebut memang tidak diterima,” katanya, seperti dikutip dari Kompas.com.
Sikap serupa disampaikan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto. Dalam sidang kabinet paripurna di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (15/12/2025), Presiden mengungkapkan bahwa dirinya menerima banyak telepon dari pemimpin dunia yang ingin mengirimkan bantuan.
“Saya ditelepon banyak pimpinan, kepala negara yang ingin kirim bantuan. Saya bilang, ‘Terima kasih concern Anda, kami mampu’. Indonesia mampu mengatasi ini,” ujar Prabowo.
Solidaritas Timur Tengah Mengalir Cepat
Penolakan tersebut kontras dengan respons negara-negara Timur Tengah yang bergerak cepat menunjukkan solidaritas. Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman mengirimkan telegram pribadi berisi ucapan duka mendalam kepada Presiden Prabowo, disusul pesan serupa dari Raja Salman bin Abdulaziz.
Uni Emirat Arab menyatakan kesiapan penuh untuk mengirimkan bantuan kemanusiaan, baik berupa logistik maupun tim darurat. Duta Besar UEA untuk Indonesia, Abdulla Salem Al Dhaheri, menegaskan negaranya siap bertindak segera begitu Indonesia membuka akses.
Ucapan belasungkawa dan tawaran bantuan juga datang dari Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani, Sultan Oman Haitham bin Tariq, serta Presiden Iran Masoud Pezeshkian, yang bahkan menawarkan pengiriman tim tanggap darurat.
Tak hanya itu, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang mewakili 57 negara mayoritas Muslim turut menyerukan dukungan cepat bagi Indonesia.
Menurut laporan Middle East Monitor, tawaran bantuan tersebut bukan bersifat simbolis. Hubungan Indonesia dengan kawasan Timur Tengah telah lama terjalin erat melalui ikatan keagamaan, migrasi tenaga kerja, investasi dana kekayaan negara Teluk, serta kemitraan strategis di berbagai sektor.
Pertimbangan Politik dan Isu Lingkungan
Pemerintah Indonesia, melalui Menteri Luar Negeri Sugiono, menyatakan pada 5 Desember 2025 bahwa bantuan internasional belum diperlukan karena kapasitas dalam negeri dinilai masih mencukupi. Pernyataan serupa disampaikan Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, yang menegaskan pemerintah memiliki pertimbangan tersendiri.
Sikap tersebut memunculkan tanda tanya di kalangan negara-negara sahabat, terutama karena bantuan ditawarkan tanpa syarat politik maupun kepentingan strategis.
Direktur Desk Indonesia–MENA Centre for Economic and Law Studies (CELIOS), Dr Muhammad Zulfikar Rakhmat, menilai negara-negara Timur Tengah bergerak atas dasar belas kasih, solidaritas keagamaan, dan kemitraan tulus.
“Keengganan Pemerintah Indonesia menciptakan jarak ketidaknyamanan antara niat baik kawasan tersebut dan perhitungan politik Jakarta yang berorientasi ke dalam negeri,” tulis Zulfikar dalam opininya di Middle East Monitor.
Meski demikian, ia menilai peristiwa ini tidak akan merusak hubungan jangka panjang Indonesia dan Timur Tengah yang selama ini terikat oleh jalur ibadah, migrasi pekerja, investasi, dan kerja sama keagamaan.
Di sisi lain, sejumlah pengamat menilai sikap pemerintah juga dipengaruhi oleh isu tata kelola lingkungan. Organisasi masyarakat sipil seperti Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyoroti tumpang tindih antara wilayah terdampak banjir dengan konsesi pertambangan, perkebunan, dan kehutanan industri di daerah hulu sungai.
Aktivis menilai deforestasi, erosi lereng, serta degradasi daerah aliran sungai akibat aktivitas tersebut turut memperparah intensitas dan frekuensi banjir. Isu ini dinilai sensitif karena sebagian konsesi disebut memiliki keterkaitan historis dengan elite ekonomi dan politik, meski klaim tersebut masih diperdebatkan.
Dalam konteks tersebut, kehadiran tim internasional—termasuk ahli lingkungan dan hidrologi—dikhawatirkan dapat membuka sorotan global terhadap persoalan struktural tata kelola lingkungan di Indonesia.
Bagi pemerintahan baru yang ingin menampilkan kendali, kemandirian, dan kapasitas nasional, pengawasan semacam itu dipandang sebagai risiko politik yang tidak diinginkan.



