Aceh Tamiang, Infoaceh.net — Di bawah terpal-terpal pendek yang berdiri di atas Jembatan Sungai Tamiang, Aceh Tamiang, ratusan korban banjir bandang berusaha bertahan.
Mereka tidak hanya melawan panas, debu, dan nyamuk, tetapi juga menghadapi luka batin yang kian hari kian dalam.
Ahli psikologi klinis menilai trauma bencana banjir dan longsor yang kini melanda Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara justru lebih berat dibandingkan trauma tsunami Aceh 2004.
Penyebab utamanya bukan semata dahsyatnya bencana, melainkan lambannya pemenuhan kebutuhan dasar korban.
“Secara psikologis ini sangat berbahaya. Ketika kebutuhan paling mendasar saja belum terpenuhi, manusia kehilangan kemampuan untuk pulih,” kata psikolog klinis Yulia Direzkia, yang pernah menjadi relawan pada tsunami 2004.
Sebelum bencana, para korban bisa tidur di ranjang sendiri, makan dengan tenang, dan bercengkerama bersama keluarga. Kini, untuk masuk ke tenda pengungsian saja mereka harus membungkuk. Terpal tipis tak mampu menahan panas siang hari maupun dingin malam.
Ratnawati (54), warga Desa Suka Jadi, telah berpindah lima kali lokasi pengungsian. Tak satu pun benar-benar aman dari genangan air hujan. “Ini tempat terakhir. Ke mana lagi kami mau lari,” katanya kepada BBC News Indonesia.
Ia tinggal bersama anak, menantu, dan tujuh cucunya di satu tenda sempit. Malam hari diisi gigitan nyamuk, siang hari terik matahari menembus terpal. Setiap hari dilalui dengan kelelahan fisik dan emosi yang naik turun.
Banjir bandang yang terjadi pada 26 November dini hari menghapus rumah Ratnawati yang berada di tepi Sungai Tamiang. Lumpur dan gelondongan kayu datang tanpa memberi waktu menyelamatkan apa pun.
“Hingga sekarang masih mimpi dikejar air. Kalau lihat sungai, rasanya tidak sanggup,” ujarnya sambil menangis.
Ratnawati mengakui emosinya kini sulit dikendalikan. Hal-hal kecil mudah memancing amarah. Kekecewaan juga muncul ketika melihat bantuan yang dibagikan tidak merata.
Perubahan ini, katanya, juga dialami anak-anak dan cucunya. Mereka menjadi lebih rewel, sering menangis, dan terus meminta pulang ke rumah yang kini sudah tak ada.
Penyintas lain, Warno (56), memilih diam. Sejak banjir menghanyutkan rumahnya, ia sering melamun di sudut jembatan.
“Kalau bisa jangan ada pagi. Malam saja terus, supaya tidur dan tidak ingat apa-apa,” katanya.
Warno memendam kesedihan agar terlihat kuat di depan istri dan anak-anaknya. Namun luka batin itu terus mengendap.
Hingga kini, belum tersedia layanan konseling psikologis di posko pengungsian Jembatan Sungai Tamiang. Padahal, menurut para penyintas, terutama ibu-ibu dan anak-anak, bantuan psikologis sangat dibutuhkan.
“Anak-anak trauma. Mereka perlu ditenangkan,” ujar Nursahati (30), penyintas lainnya.
Menurut Yulia, pada tsunami 2004, meski skala kehancuran sangat besar, pemenuhan kebutuhan dasar relatif cepat. Bantuan nasional dan internasional datang dalam hitungan hari, rumah sakit darurat tersedia, dan sistem penanganan terpusat.
Kini, lebih dari 20 hari pascabencana, masih banyak wilayah terisolasi. Air bersih terbatas, akses kesehatan jauh, listrik dan komunikasi belum pulih, serta pengungsian tersebar tanpa koordinasi matang.
“Kondisi ini membuat penyintas tidak mampu melakukan self-healing. Dari stres akut, mereka bisa jatuh ke PTSD kronis,” jelas Yulia.
Gejalanya antara lain kilas balik kejadian, emosi meledak-ledak, menarik diri, hingga gangguan fisik akibat tekanan psikologis.
Yulia juga menilai bencana kali ini lebih kompleks karena bercampur dengan persoalan ekologis. Gelondongan kayu yang terbawa banjir diduga berasal dari pembabatan hutan, memperparah dampak kerusakan.
Trauma tidak hanya dialami penyintas, tetapi juga relawan, aparat, tenaga kesehatan, jurnalis, dan masyarakat luas yang terus terpapar berita bencana—fenomena yang dikenal sebagai secondary trauma.
Dengan keterbatasan jumlah psikolog trauma di Aceh, Yulia mendorong pemerintah segera memetakan wilayah terdampak secara psikologis dan mempercepat pemenuhan kebutuhan dasar.
“Dalam kondisi seperti ini, bantuan sekecil apa pun bisa menyelamatkan kesehatan mental penyintas,” pungkasnya.



