2. Pembukaan akses bantuan internasional demi percepatan pemulihan kemanusiaan.
3. Keseriusan dan objektivitas Pemerintah Pusat dalam penanganan bencana, bebas dari kalkulasi politik dan semata berbasis keselamatan rakyat.
4. Penegakan hukum tegas terhadap seluruh bentuk perusakan lingkungan yang terbukti memperparah risiko bencana.
Dalam diskusi publik yang berlangsung kritis di Banda Aceh, Selasa (23/12/2025), para akademisi, praktisi lingkungan, dan praktisi hukum menegaskan bahwa bencana ini sesungguhnya telah diperingatkan jauh hari—namun negara gagal belajar.
Nurul Ikhsan menyoroti bagaimana realitas politik kerap menutup mata terhadap peringatan ilmiah.
Ketidakseriusan negara itulah, menurutnya, yang melahirkan tuntutan kuat agar status bencana segera dinaikkan menjadi bencana nasional.
Ivan Krisna menjelaskan Aceh dan Sumatera tidak layak dipaksakan menjadi wilayah monokultur, khususnya sawit. Penggantian hutan dan kebun karet dengan sawit, kanal-kanal yang memotong topografi alami, serta degradasi tanah liat yang kehilangan daya serap air telah menciptakan kondisi ekstrem—wadah kecil dengan limpasan air raksasa.
Sungai, yang seharusnya menjadi indikator kesehatan ekosistem, justru menunjukkan endapan rusak dan runtuhnya fungsi ekologis.
Menurutnya, melawan banjir dengan pendekatan infrastruktur semata adalah kekeliruan fatal. Yang dibutuhkan adalah pemulihan keseimbangan ekosistem, menjadikan DAS sebagai basis utama kebijakan tata ruang, serta melindungi sungai purba sebagai bagian tak terpisahkan dari mitigasi bencana.
Dahlan, mewakili Rektor Universitas Syiah Kuala (USK), menegaskan kegagalan tata ruang Aceh telah berlangsung lama. RTRW tidak pernah sungguh-sungguh berbasis DAS, sementara usulan buffer ekologis berupa kebun campuran menyerupai hutan terus diabaikan.
Ironisnya, di tengah luasnya kawasan budidaya, dorongan konversi hutan lindung justru masih terjadi.
Ia menekankan pentingnya redesain kawasan hutan, termasuk pengakuan bahwa banyak hutan berada di luar kawasan hutan negara dan membutuhkan koordinasi serius antara BPN dan DLHK.
Tanpa tim tata ruang yang dinamis dan multistakeholder, Aceh hanya akan berjalan menuju bencana berikutnya.
Affan, praktisi hukum, menyebut pemerintah berada dalam kondisi “kesepian gagasan”. Ribuan alat berat beroperasi di kawasan hutan, sementara respons negara berjalan lamban dan reaktif.
Momentum bencana ini, menurutnya, harus dimanfaatkan untuk mendorong gerakan jangka pendek dan panjang—dari tanggap darurat, pemulihan ekosistem sungai, hingga advokasi hukum dan gugatan kebijakan.
A.F. Annahar mengingatkan agar energi gerakan tidak padam, sementara Afrizal Akmal menegaskan bahwa bergerak cepat hanya mungkin jika berpikir jernih dan berbasis pengetahuan.
Sebagai tindak lanjut, Komunitas Inisiatif Konservasi Hutan Wakaf bersama elemen masyarakat sipil menuntut: evaluasi total seluruh izin sawit dan tambang di Aceh.
Moratorium sawit dan pertambangan hingga daya dukung ekosistem pulih.
Review menyeluruh RTRW Aceh berbasis DAS, pemetaan seluruh DAS, dengan ketentuan minimal 30 persen kawasan DAS wajib berupa tutupan hutan.
Perlindungan sungai purba sebagai infrastruktur ekologis alami.
Pernyataan sikap ini disampaikan untuk diindahkan sebagai bentuk tanggung jawab konstitusional negara terhadap rakyat dan lingkungan hidup.
Bencana ini adalah cermin.
Yang dipertaruhkan bukan sekadar kebijakan, melainkan masa depan Aceh dan Sumatera.