Lhokseumawe, Infoaceh.net – Insiden bentrokan antara aparat keamanan TNI dan warga sipil kembali terjadi di Aceh.
Kali ini, ketegangan pecah di Kota Lhokseumawe dan wilayah Aceh Utara pada Kamis, 25 Desember 2025, menyusul aksi pengibaran bendera Bulan Bintang yang dilakukan sekelompok warga saat mengawal penyaluran bantuan bagi korban banjir.
Peristiwa tersebut terjadi di Jalan Nasional Banda Aceh–Medan, tepatnya di Simpang Kandang, Kecamatan Muara Dua, Lhokseumawe, dan berlanjut hingga kawasan Krueng Mane, Kabupaten Aceh Utara.
Aksi warga itu disebut sebagai bentuk solidaritas kemanusiaan sekaligus ekspresi kekecewaan terhadap penanganan bencana banjir yang dinilai belum merata.
Berdasarkan informasi yang dihimpun dari sejumlah saksi mata, insiden bermula ketika sejumlah truk pengangkut bantuan logistik melintas dengan mengibarkan bendera Bulan Bintang yang identik dengan simbol Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Truk tersebut dikawal oleh puluhan warga yang hendak menyalurkan bantuan ke wilayah terdampak banjir.
Keberadaan bendera tersebut kemudian mendapat perhatian aparat keamanan.
Personel TNI dari Korem 011/Lilawangsa dan Brimob yang berada di sekitar lokasi meminta agar bendera bulan bintang diturunkan.
Permintaan tersebut memicu perdebatan dengan warga yang menganggap aksi mereka tidak mengganggu ketertiban umum, mengingat tujuan utama adalah penyaluran bantuan kemanusiaan untuk korban banjir ke Aceh Tamiang.
Situasi semakin memanas ketika aparat melakukan sweeping dan berupaya membubarkan massa. Adu mulut berubah menjadi aksi saling dorong.
Sejumlah video amatir yang beredar luas di media sosial memperlihatkan kondisi tegang di lokasi kejadian, dengan aparat bersenjata lengkap turun langsung menghadapi warga sipil.
Dugaan Kekerasan Terhadap Warga
Dalam rekaman video yang beredar, tampak beberapa warga terjatuh dan mengalami pemukulan. Sedikitnya lima orang dilaporkan mengalami luka-luka.
Mereka diduga menjadi korban kekerasan fisik, termasuk pemukulan menggunakan popor senjata laras panjang dan ditendang oleh oknum aparat TNI.
Sejumlah warga yang menjadi korban mengaku mengalami terluka dan berdarah di bagian kepala, punggung, dan lengan.
Mereka menyayangkan tindakan aparat yang dinilai berlebihan, terlebih aksi yang dilakukan berkaitan dengan kegiatan kemanusiaan di tengah situasi pascabencana.
“Kami hanya mengawal bantuan untuk korban banjir. Tidak ada niat membuat keributan,” ujar salah seorang warga yang membawa bantuan banjir.
Selain melakukan pembubaran, aparat juga menyita bendera Bulan Bintang yang dikibarkan warga. Dalam insiden tersebut, aparat turut mengamankan seorang pria yang diduga sebagai provokator.
Aparat mengklaim menemukan sebilah rencong serta satu pucuk senjata api jenis pistol dari pria tersebut.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi mengenai status hukum pria yang diamankan maupun asal-usul senjata yang disebut-sebut ditemukan.
Aparat juga belum memberikan penjelasan detail terkait proses pengamanan yang dilakukan.
Aksi pengibaran bendera Bulan Bintang ini dilakukan di tengah kondisi masyarakat Aceh yang masih berjuang bangkit dari bencana banjir.
Sejumlah wilayah dilaporkan mengalami kerusakan parah, sementara sebagian warga mengaku belum sepenuhnya menerima bantuan.
Menurut keterangan warga, pengibaran bendera tersebut merupakan simbol identitas sekaligus bentuk protes damai terhadap pemerintah yang dinilai lamban dan kurang maksimal dalam penanganan bencana.
Mereka menegaskan bahwa aksi itu tidak dimaksudkan untuk memprovokasi atau menciptakan konflik.
Pihak TNI membenarkan adanya tindakan pembubaran terhadap aksi tersebut. Aparat menyatakan pengibaran bendera Bulan Bintang dinilai tidak memiliki dasar hukum secara formal karena belum diakui oleh Pemerintah Pusat, meskipun Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) telah mengesahkan Qanun Aceh tentang bendera dan lambang daerah.
Danrem 011/Lilawangsa Kolonel Inf Ali Imran yang memimpin langsung operasi pembubaran mengatakan, langkah penertiban dilakukan untuk menjaga stabilitas keamanan dan mencegah potensi gangguan ketertiban umum.
TNI juga menegaskan bahwa tindakan di lapangan dilakukan sesuai prosedur pengamanan.
Namun demikian, terkait dugaan kekerasan terhadap warga sipil, hingga kini belum ada pernyataan resmi apakah akan dilakukan evaluasi atau investigasi internal.
Insiden ini memicu reaksi luas dari masyarakat dan berbagai elemen sipil. Sejumlah pihak menilai pendekatan keamanan yang digunakan tidak sejalan dengan semangat kemanusiaan, terlebih peristiwa terjadi di tengah situasi bencana.
Desakan agar dilakukan investigasi menyeluruh dan transparan pun menguat.
Masyarakat berharap aparat keamanan dapat bertindak lebih humanis serta mengedepankan dialog dalam menghadapi aksi sipil, terutama yang berkaitan dengan bantuan kemanusiaan.
Direktur LBH Banda Aceh, Aulianda Wafisa mengecam terkait kekerasan TNI kepada masyarakat yang sedang menyatakan pendapat di muka umum dan masyarakat yang sedang mengantar bantuan logistik ke daerah banjir di Aceh.
Ia menilai insiden ini berpotensi memperlebar jarak antara aparat dan masyarakat jika tidak disikapi dengan bijak.
Mereka mengingatkan pentingnya sensitivitas sosial dan pendekatan persuasif di wilayah yang memiliki sejarah konflik panjang.
Pasca insiden, situasi di Lhokseumawe dan Aceh Utara dilaporkan telah kembali kondusif.
Aparat keamanan masih bersiaga di sejumlah titik, sementara aktivitas masyarakat berangsur normal.
Meski demikian, peristiwa ini meninggalkan catatan serius terkait relasi aparat dan warga sipil, khususnya dalam konteks kebebasan berekspresi, penanganan bencana, dan pendekatan keamanan di Aceh.



