Banda Aceh, Infoaceh.net — Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh diketahui tidak dilibatkan dalam Tim Kerja Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana (R3P) Hidrometeorologi Aceh yang dibentuk Pemerintah Aceh menyusul bencana banjir bandang dan tanah longsor di sejumlah wilayah Aceh.
Padahal, MPU Aceh merupakan lembaga resmi representasi ulama yang merupakan unsur Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Aceh memiliki peran strategis dalam memberikan pandangan, nasihat, serta pertimbangan moral dan sosial dalam berbagai kebijakan publik, termasuk penanganan bencana di Aceh yang memiliki kekhususan dalam tata kelola pemerintahan dan kehidupan sosial keagamaan.
Tidak adanya keterlibatan MPU Aceh terlihat jelas dalam Surat Keputusan (SK) Gubernur Aceh yang mengatur pembentukan Tim Kerja R3P Hidrometeorologi Aceh.
Dalam struktur tim yang tercantum pada SK tersebut, tidak ditemukan nama Ketua MPU Aceh maupun perwakilan lembaga ulama lainnya.
Tim Kerja R3P Hidrometeorologi Aceh dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Aceh Nomor 300.2/1471/2025 tentang Pembentukan Tim Kerja Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana Hidrometeorologi Aceh. SK ini kemudian mengalami perubahan melalui Surat Keputusan Gubernur Aceh Nomor 300.2/1480/2025 tentang Perubahan atas SK Tim Kerja R3P Hidrometeorologi Aceh, tertanggal 29 Desember 2025.
Dalam kedua SK tersebut, Tim Kerja R3P diberikan mandat untuk melakukan pendataan, analisis, serta validasi dampak bencana hidrometeorologi yang melanda berbagai kabupaten dan kota di Aceh.
Hasil kerja tim ini akan menjadi dasar penyusunan kebijakan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana, termasuk dalam pengusulan dukungan anggaran dari pemerintah pusat.
Namun, absennya perwakilan MPU Aceh dalam tim kerja tersebut memunculkan pertanyaan di tengah publik Aceh.
Sejumlah kalangan menilai suara dan pandangan ulama justru terkesan ditinggalkan dalam penanganan salah satu bencana terbesar yang melanda Aceh dalam beberapa tahun terakhir.
Sebelumnya, Ketua MPU Aceh, Tgk H Faisal Ali, telah secara terbuka menyampaikan kekecewaannya terhadap lambannya penanganan bencana banjir bandang dan longsor yang menimpa sejumlah wilayah Aceh.
Dalam pernyataannya, ia menyoroti belum optimalnya respons pemerintah dalam membantu masyarakat terdampak.
“Kepada Bapak Presiden Prabowo Subianto dan para pengambil kebijakan lainnya di pusat, kami sangat kecewa terhadap kelambanan penanganan korban bencana banjir bandang dan longsor di Aceh,” ujar Faisal Ali dalam pernyataannya beberapa hari lalu.
Ia menegaskan, harapan demi harapan telah disampaikan kepada pemerintah agar segera melakukan langkah-langkah percepatan penanganan bencana.
Menurutnya, keterlambatan penanganan berpotensi menimbulkan perasaan terabaikan di kalangan masyarakat terdampak maupun masyarakat Aceh secara luas.
“Jangan sampai masyarakat yang ditimpa musibah dan juga masyarakat Aceh yang lain merasa ditinggalkan, merasa diabaikan oleh pemerintah dalam penanganan korban banjir,” katanya.
Kritik dan desakan dari kalangan ulama juga sebelumnya menguat melalui kegiatan muzakarah ulama Aceh yang digelar di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, pada Ahad (14/12/2025).
Dalam forum tersebut, para ulama Aceh secara tegas meminta agar bencana banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh dan sebagian wilayah Sumatera ditetapkan sebagai bencana nasional.
Ketua MPU Aceh, Tgk H Faisal Ali—yang akrab disapa Abu Sibreh—menyampaikan penetapan status bencana nasional dinilai sangat penting untuk mempercepat penanganan korban, pemulihan infrastruktur vital, serta membuka akses bantuan kemanusiaan internasional secara terkoordinasi, transparan dan akuntabel.
“Muzakarah Ulama Aceh menghasilkan sejumlah rekomendasi penting terkait penanganan bencana, yakni penetapan status bencana nasional dan penguatan peran masjid sebagai pemersatu umat,” ujar Faisal Ali saat membacakan hasil rekomendasi muzakarah.
Ia menjelaskan, kegiatan muzakarah tersebut juga dirangkai dengan pembacaan samadiah dan doa bersama bagi para korban banjir dan tanah longsor, yang dipusatkan di halaman Masjid Raya Baiturrahman sebagai simbol solidaritas dan kepedulian umat terhadap musibah yang terjadi.
Selain mendesak pemerintah pusat, para ulama Aceh juga meminta Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) bersama para bupati dan wali kota se-Aceh untuk menyusun peta jalan pembangunan Aceh pascabencana yang terintegrasi dan berkelanjutan.
Peta jalan tersebut diharapkan tidak hanya berfokus pada pembangunan fisik, tetapi juga berorientasi pada mitigasi bencana, pemulihan lingkungan hidup, penguatan ekonomi masyarakat, serta perlindungan lembaga pendidikan dan rumah ibadah yang terdampak bencana.
Dalam rekomendasi lainnya, ulama Aceh juga meminta pemerintah daerah melakukan penyesuaian dan revisi anggaran agar selaras dengan kebutuhan penanganan banjir dan longsor.
Pemerintah pusat pun didorong untuk memberikan dukungan anggaran serta langkah strategis jangka pendek dan jangka panjang secara objektif dan proporsional.
Para ulama juga menekankan pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan amanah dalam pengelolaan bantuan kemanusiaan. Selain itu, mereka mendesak penegakan hukum terhadap pelaku perusakan lingkungan yang dinilai berkontribusi terhadap meningkatnya risiko bencana di Aceh.
Hingga kini, perbedaan pandangan antara pemerintah pusat dan sejumlah tokoh Aceh terkait penetapan status bencana nasional masih menjadi sorotan publik. Perdebatan tersebut terus bergulir di tengah kondisi warga terdampak yang belum sepenuhnya pulih dari dampak bencana.
Menanggapi pembentukan Tim Kerja R3P Hidrometeorologi Aceh, Juru Bicara Pemerintah Aceh, Teuku Kamaruzzaman, menjelaskan tim tersebut dibentuk semata-mata untuk memastikan tersedianya data pascabencana yang akurat, terverifikasi, dan dapat dipertanggungjawabkan sebagai dasar pengambilan kebijakan pemerintah.
“Tim ini bekerja untuk melakukan pengumpulan data pascabencana, menyusun dokumen data pascabencana, serta melakukan validasi kebenaran dan klasifikasi data di 18 kabupaten di Aceh yang terdampak bencana hidrometeorologi,” ujar Teuku Kamaruzzaman yang akrab disapa Ampon Man, di Banda Aceh, Selasa (30/12/2025).
Ia menegaskan Tim Kerja R3P tidak bertugas melaksanakan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi di lapangan, melainkan fokus pada kerja-kerja teknis dan analitis sebagai fondasi perencanaan pemulihan pascabencana.
Selain pendataan dan validasi, tim tersebut juga bertanggung jawab melakukan analisis dampak pascabencana, termasuk penghitungan kerusakan dan kerugian, serta penilaian dan verifikasi kebutuhan yang timbul akibat bencana hidrometeorologi.
“Seluruh hasil kerja tim ini akan menjadi rujukan resmi pemerintah dalam menentukan langkah kebijakan lanjutan, baik dalam perencanaan rehabilitasi dan rekonstruksi maupun dalam pengusulan dukungan anggaran dari pemerintah pusat,” jelasnya.
Pemerintah Aceh berharap keberadaan Tim Kerja R3P Hidrometeorologi Aceh dapat menghasilkan data yang komprehensif, objektif, dan berbasis fakta. Dengan demikian, setiap kebijakan yang diambil ke depan diharapkan benar-benar mencerminkan tingkat kerusakan dan kerugian yang dialami masyarakat terdampak bencana di Aceh.



