Banda Aceh, Infoaceh.net — Di tengah kesibukannya memimpin penanganan bencana banjir bandang dan longsor di Aceh, Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) ikut memikirkan nilai adat dan budaya masyarakat Aceh yakni tradisi meugang menyambut bulan suci Ramadan 1447 Hijriah.
Dalam rapat bersama jajaran menteri, DPR RI, serta pejabat utama negara pada, Selasa, 30 Desember 2025, di Hotel Daka Banda Aceh, Mualem menyampaikan sejumlah permintaan strategis kepada Pemerintah Pusat.
Salah satu yang paling menyita perhatian adalah permintaannya kepada Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa agar turut menjaga ketersediaan dan membantu pemenuhan daging meugang bagi masyarakat Aceh, khususnya pascabencana.
Permintaan ini tampak sederhana, namun sarat makna. Mualem memahami betul bahwa meugang bukan sekadar tradisi, melainkan simbol harga diri dan ketahanan keluarga masyarakat Aceh.
Setumpuk daging pada hari meugang menjadi penanda kemampuan seorang kepala keluarga dalam menjaga kehormatan dan ketenteraman batin keluarganya.
Bagi banyak orang Aceh, keberhasilan membawa pulang daging meugang berarti terselamatkannya jiwa dan pikiran.
Tradisi meugang sendiri berakar kuat sejak masa kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda.
Kala itu, Sultan memerintahkan penyembelihan sapi untuk dibagikan kepada rakyat pada hari-hari besar Islam.
Hingga kini, Aceh mengenal tiga momentum meugang utama yaitu Meugang menyambut Ramadan, Meugang Idul Fitri, dan Meugang Idul Adha.
Kepekaan Mualem terhadap tradisi ini bukanlah hal baru. Dalam memimpin Partai Aceh, tradisi berbagi daging meugang telah lama dipraktikkan. Setiap tahun, pengurus partai dari tingkat terendah hingga tertinggi mendapatkan bagian daging meugang.
Bahkan, para Bupati/Wali Kota yang didukung Partai Aceh memiliki kewajiban moral untuk membantu kader dan masyarakat saat meugang tiba.
Dalam konteks bencana yang tengah melanda Aceh, kepedulian Mualem meluas ke seluruh lapisan masyarakat. Sebagai Gubernur Aceh, ia tidak hanya memikirkan infrastruktur, logistik, dan pemulihan pascabencana, tetapi juga memastikan masyarakat tetap mampu menjalankan tradisi yang menjadi penguat psikologis dan sosial menjelang Ramadhan.
Permintaan Mualem kepada Mendagri dan Menkeu menjadi sinyal kuat bahwa penanganan bencana harus dilihat secara utuh, termasuk dimensi sosial, budaya, dan spiritual masyarakat.
Lebih dari itu, hal ini juga membuka ruang partisipasi bagi para donatur dan pihak swasta untuk turut berkontribusi, misalnya melalui program “Meugang Bersama Masyarakat Terdampak Bencana” atau inisiatif serupa.
Di tangan pemimpin yang lahir dari rahim rakyat, kebijakan tidak selalu hadir dalam bentuk yang rumit. Terkadang, ia hadir dalam kepedulian yang sederhana, namun menyentuh langsung denyut kehidupan masyarakatnya.



