Sigli, Infoaceh.net — Di tengah kondisi tanggap darurat bencana banjir bandang dan longsor di sejumlah wilayah Aceh, seruan kemanusiaan datang dari Kabupaten Pidie.
Pemerhati Sosial dan Kebijakan Publik Aceh, Drs M. Isa Alima mengajak masyarakat Pidie yang tidak terdampak banjir untuk menunjukkan solidaritas nyata kepada para pengungsi banjir di Kabupaten Pidie Jaya (Pijay).
Ajakan tersebut disampaikan sebagai panggilan nurani, bukan kewajiban. Bentuk kepedulian yang ditawarkan pun sederhana namun bermakna besar, yakni dengan menyiapkan minimal lima bungkus nasi dari setiap rumah bagi warga yang memiliki kemampuan, untuk disalurkan kepada para pengungsi.
“Lima bungkus nasi dari setiap rumah mungkin terlihat kecil, tetapi bagi saudara-saudara kita yang kelaparan di pengungsian, itu bisa menjadi ribuan harapan,” ujar Isa Alima, Selasa (30/12).
Menurutnya, agar gerakan solidaritas ini berjalan tertib, efektif, dan tepat sasaran, diperlukan koordinasi melalui keuchik gampong serta Forum Keuchik.
Pengumpulan dan penyaluran bantuan dapat diatur per kecamatan, menyesuaikan kondisi dan kemampuan masing-masing wilayah, sehingga semangat gotong royong tetap terjaga.
“Ini hanya saran dan ajakan, tidak memaksa. Namun patut dipertimbangkan, karena di pengungsian ada anak-anak, ibu hamil, dan lansia yang sangat membutuhkan uluran tangan kita,” katanya.
Isa Alima mengungkapkan, berdasarkan pemantauannya di lapangan, sejumlah gampong di Kabupaten Pidie telah lebih dahulu menginisiasi gerakan serupa.
Warga secara swadaya memasak dan mengantarkan nasi bungkus langsung ke lokasi-lokasi pengungsian di Pidie Jaya.
“Gerakan ini tumbuh dari kesadaran bersama, tanpa hiruk-pikuk, tetapi manfaatnya sangat dirasakan oleh para korban banjir,” tambahnya.
Dari Dapur ke Dapur, Solidaritas Menghangatkan Pengungsian
Di tengah bencana yang memisahkan wilayah, solidaritas justru menyatukan masyarakat. Dari dapur-dapur sederhana warga Pidie, kepedulian mengalir menembus batas kabupaten, menguatkan para pengungsi di Pidie Jaya yang tengah menghadapi masa sulit.
Aroma nasi hangat yang dibagikan menjadi simbol kebersamaan dan harapan.
Ketika air meluap dan malam terasa panjang di pengungsian, lima bungkus nasi dari setiap rumah dapat menjelma menjadi ribuan harapan—pengingat bahwa nilai kemanusiaan selalu menemukan jalannya di Tanah Aceh.



