Oleh: Mahmud Padang*
PERMINTAAN Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau Mualem pada peringatan dua dekade perdamaian Aceh, Jum’at (15/8/2025) agar Pemerintah Pusat mengalokasikan dana abadi Rp1,5 triliun untuk mantan kombatan GAM kembali mengguncang ruang publik Tanah Rencong.
Dana ini diusulkan sebagai kompensasi atas gagalnya realisasi program tanah bagi eks kombatan sebagaimana tercantum dalam MoU Helsinki.
Namun, ingatan publik langsung tertuju pada skandal dana hibah Rp650 miliar tahun 2013 masa Muzakir Manaf jadi Wakil Gubernur Aceh, yang digelontorkan untuk program pemberdayaan mantan kombatan GAM, Tapol/Napol serta korban konflik.
Dana jumbo itu sempat ditangani Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh, bahkan dilaporkan ke KPK oleh sejumlah LSM antikorupsi.
Indikasi penyimpangan berupa proyek fiktif, pengadaan bermasalah, hingga penerima fiktif sempat menyeruak.
Sayangnya, kasus ini kemudian senyap tanpa kejelasan hukum hingga kini.
Di tengah gelombang dana konflik yang terus mengalir ke Aceh sejak 2005, fakta di lapangan justru getir.
Banyak mantan kombatan yang di akar rumput tidak mahir melobi, tidak pandai berebut proyek, bahkan memilih diam demi menghindari keributan, sehingga tak kebagian sentuhan dari uang yang nilainya cukup fantastis.
Lebih ironis lagi, masih banyak pula anak yatim, janda, keluarga syuhada, dan korban konflik yang belum pernah tersentuh bantuan.
Lalu, apa jaminannya dana Rp1,5 triliun ini akan berbeda nasib dengan Rp650 miliar yang hilang arah?
Jikapun Pemerintah Pusat benar-benar mengakomodir dana abadi Rp1,5 triliun tersebut, maka pengelolaannya harus ekstra ketat.
Ada tiga syarat mutlak:
1. Transparansi penuh: data penerima, mekanisme distribusi, dan realisasi anggaran harus dipublikasikan secara terbuka, jangan sampai ada intrik-intrik nakal yang membayanginya.
2. Audit berlapis: BPK, KPK, hingga inspektorat daerah harus mengawasi secara ketat sejak perencanaan hingga evaluasi.
3. Prioritas akar rumput: bantuan wajib menyasar mereka yang selama ini terpinggirkan seperti eks-kombatan biasa, korban konflik, keluarga syuhada dan bukan segelintir elit atau lingkaran yang dekat dengan kalangan elit.