Oleh: Samsul Bahri SPd MPd*
POLEMIK seputar dana komite madrasah dan Ombudsman masih menghiasi media di Aceh menjelang peringatan HUT ke-80 Kemerdekaan RI beberapa hari belakangan.
Tulisan ini hadir sebagai respons atas isu yang terus diperpanjang dan diperdebatkan di ruang publik.
Meskipun tidak semua madrasah melakukan praktik pungutan saat Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), kasus yang terungkap harus tetap dikritisi sebagai pengingat.
Di satu sisi, ada temuan dan penegasan dari Ombudsman terkait dugaan pungutan di madrasah. Di sisi lain, muncul pembelaan yang mengatasnamakan mutu pendidikan.
Tulisan ini bertujuan mengurai masalah ini secara jujur dan kritis, bukan untuk memperkeruh suasana, melainkan untuk mencari titik terang danbsolusi konstruktif bagi masa depan pendidikan madrasah.
Realitas Pendanaan Madrasah di Aceh
Secara faktual, madrasah seringkali berada dalam posisi yang dilematis akibat kebijakan pendanaan. Sebagai lembaga vertikal di bawah Kementerian Agama, mereka tidak mendapatkan bantuan dari Pemerintah Daerah Aceh maupun dana Otonomi Khusus (Otsus).
Di sisi lain, anggaran rutin dari APBN seringkali belum memadai untuk memenuhi kebutuhan operasional dan peningkatan mutu pendidikan di lapangan.
Kesenjangan pendanaan inilah yang menjadi salah satu pemicu utama munculnya praktik pungutan di madrasah.
Namun, harus disadari bahwa ruh ilmu berasal dari kecintaan pencari ilmu dan keikhlasan dalam bentuk apa pun dari orang tua.
Polemik ini bermula dari penyimpangan peran fundamental yang seharusnya dijalankan oleh para aktor kunci dalam ekosistem madrasah.
● Kepala madrasah adalah manajer dan pemimpin yang bertanggung jawab penuh atas seluruh aspek sekolah, termasuk keuangan dan integritas. Namun, pada kenyataannya, mereka menyalahgunakan wewenang dan menjadi aktor utama yang menginisiasi praktik pungutan yang tidak sesuai aturan.
Tindakan ini mencerminkan kegagalan kepemimpinan, karena mereka memilih jalan pintas yang jelas melanggar hukum alih-alih mencari solusi kreatif dan legal.