Banda Aceh, Infoaceh.net —
Gelombang skandal pemilu kembali mencoreng wajah demokrasi di Aceh. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Republik Indonesia resmi menjatuhkan sanksi berat terhadap sejumlah penyelenggara pemilu di Aceh
Termasuk Ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kota Banda Aceh, Yusri Razali, yang terbukti melanggar kode etik dalam kasus manipulasi suara.
Sidang pembacaan putusan digelar di Ruang Sidang DKPP, Jakarta, Rabu (3/9/2025). Ketua DKPP Heddy Lugito memimpin jalannya sidang bersama dua anggota majelis, Ratna Dewi Pettalolo dan I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi.
Dalam perkara Nomor 158-PKE-DKPP/VI/2025, Ketua KIP Banda Aceh Yusri Razali resmi dicopot dari jabatan Ketua meski masih menyandang status anggota komisioner.
DKPP menilai Yusri tidak hanya melanggar kode etik, tapi juga menjadi aktor penting dalam skandal penggelembungan suara.
Anggota KIP lainnya, Saiful Haris, mendapat sanksi peringatan keras, sementara dua komisioner lain, Muhammad Zar dan Rachmat Hidayat, disebut mengetahui praktik curang namun tidak mencegahnya.
Skema Kecurangan: PKS Untung
Laporan yang diajukan oleh Fakhrul Rizal melalui tim kuasa hukumnya membuka tabir praktik kotor yang melibatkan KIP Banda Aceh.
Dalam aduan resmi, Yusri Razali disebut memerintahkan Ketua PPK Kecamatan Syiah Kuala dan Kuta Raja untuk menggelembungkan suara caleg DPR RI dari PDIP, Sofyan Dawood, dan pada saat yang sama memindahkan suara milik Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ke caleg Ghufran Zainal Abidin.
Hasilnya, Sofyan Dawood memperoleh tambahan suara signifikan, sementara Ghufran—yang merupakan caleg nomor urut 1 PKS—berhasil melenggang ke Senayan bukan karena dukungan murni rakyat, melainkan hasil rekayasa.
Praktik ini disebut dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), sebuah kategori pelanggaran serius yang bisa membatalkan hasil pemilu.
PKS Kena Imbas
Kasus ini memukul citra PKS yang selama ini dikenal menjual isu moralitas dan integritas.
Nama Ghufran Zainal Abidin kini dipertanyakan publik, lantaran diduga menikmati hasil kecurangan tanpa membongkar permainan kotor tersebut.
Meski PKS tidak terlibat langsung, kasus ini telah membuat partai Islam itu tampak tercoreng.
“PKS terlihat seolah ikut menikmati hasil manipulasi. Itu merusak branding politik bersih yang selama ini mereka bangun,” ujar salah seorang tokoh masyarakat di Banda Aceh.
DKPP Ingatkan Bahaya Krisis Kepercayaan
Dalam amar putusannya, DKPP menegaskan pentingnya menjaga integritas pemilu.
“Kepercayaan rakyat terhadap pemilu tidak boleh dikhianati. Jika penyelenggara ikut bermain, maka demokrasi akan kehilangan makna,” kata Ketua DKPP Heddy Lugito.
Putusan DKPP ini sekaligus menjadi sinyal peringatan keras bagi seluruh penyelenggara pemilu di daerah lain agar tidak tergoda dengan intervensi politik maupun kepentingan sesaat.
Gelombang Desakan Proses Hukum
Masyarakat sipil di Aceh kini mendesak agar kasus ini tidak berhenti pada sanksi etik saja. Aparat penegak hukum diminta menindaklanjuti dengan proses pidana terhadap para pelaku, sebab praktik manipulasi suara termasuk kejahatan serius dalam demokrasi.
Dampak Politik Jangka Panjang
Skandal ini diperkirakan akan berdampak pada konfigurasi politik Aceh dan kepercayaan publik terhadap partai-partai peserta pemilu.
Bagi PKS, kasus Ghufran bisa menjadi batu sandungan dalam menjaga citra partai bersih.
Seperti diketahui, nama Ustadz Ghufran Zainal Abidin menjadi sorotan publik usai disebut dalam sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik KIP Kota Banda Aceh yang digela DKPP.
Ghufran yang juga dikenal sebagai Kapten Tim Kampanye Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) Aceh saat Pilpres 2024 itu diuntungkan dari dugaan pemindahan suara milik PKS ke dirinya, sebagai caleg DPR RI nomor urut 01 dari PKS.
Dalam sidang tersebut, Ketua KIP Banda Aceh, Yusri Razali, diduga menjadi aktor yang memerintahkan pemindahan suara PKS kepada Ghufran.
Tak hanya itu, Yusri juga dituding sebagai dalang dugaan penggelembungan suara bagi caleg PDIP nomor urut 01, Sofyan Dawood. Tiga komisioner lainnya yakni Muhammad Zar, Rachmat Hidayat, dan Saiful Haris juga disebut mengetahui dan membantu proses tersebut.
Dalam hasil rekapitulasi Pemilu Legislatif 2024, Ghufran Zainal Abidin dinyatakan lolos ke Senayan dari Dapil Aceh I dengan perolehan 46.713 suara badan.
Ia menempati kursi ketujuh atau kursi terakhir, setelah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dinyatakan tidak lolos parliamentary threshold 4 persen.
Namun kelolosan Ghufran menuai kontroversi internal. Anggota DPR RI periode 2019-2024 dari PKS, Rafly Kande, secara terang-terangan menyatakan mundur dari PKS pada Mei 2025.
Rafly mengaku dizalimi partainya sendiri dan menuding suara miliknya dialihkan ke Ghufran.
“Saya merasa dizalimi, ada suara saya yang dialihkan. Janji penyelesaian secara internal tidak ditepati. Maka saya memutuskan mundur,” tegas Rafly dalam pernyataannya, Senin, 27 Mei 2025.
Menariknya, Ghufran turut hadir saat DPW PKS Aceh melaporkan dugaan penggelembungan suara untuk caleg PDIP ke Panwaslih Aceh pada Maret 2024.
Dalam laporan itu, PKS mengklaim salah satu kursinya di Dapil Aceh 1 raib akibat penggelembungan suara PDIP.
Kini, sorotan justru berbalik ke internal PKS sendiri. Dugaan bahwa suara kader lain dialihkan ke Ghufran memperkeruh citra partai.
Kini, jika tuduhan tersebut telah terbukti berdasarkan putusan DKPP RI, maka kasus ini akan menambah daftar panjang problem etik pemilu di Aceh yang mencoreng integritas KIP dan memperlemah kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.



