Oleh: Sri Radjasa MBA (Pemerhati Intelijen)
Bangsa yang besar bukan dilahirkan dari kesunyian kepatuhan, melainkan dari gelora kecamuk yang menuntut keadilan.
Namun akhir-akhir ini, peta politik kita memperlihatkan paradoks menyakitkan, ketika rakyat berteriak karena luka sosial-ekonomi dan praktik elit yang tampak jauh dari akal sehat publik, jawaban yang muncul kerap berupa represi, retoris pengalihan isu, dan yang paling berbahaya yakni pelindungan terhadap arsitektur lama yang menyebabkan luka itu sendiri.
Inilah konteks di balik sebutan pedas tentang Stockholm Syndrome di istana, metafora yang menggambarkan pemimpin yang tampak terikat pada kaum yang justru merugikan konstituen mereka.
Katalis protes akhir Agustus 2025 yang bermula dari kecaman terhadap tunjangan parlemen yang dinilai berlebihan, berubah menjadi gelombang nasional setelah video seorang pengemudi ojek/delivery yang tertabrak kendaraan taktis polisi beredar luas dan memicu kemarahan publik.
Peristiwa yang memicu protes ini bukan kabar simpang-siur bahkwan liputan internasional dan lokal merekam insiden tersebut serta reaksi publik yang meluas ke banyak kota.
Skala reaksi negara juga tercermin dalam angka-angka keras yaitu organisasi hak asasi manusia menilai otoritas telah menahan ribuan orang dalam gelombang penindakan sejak akhir Agustus 2025 sebagai sebuah respons yang memicu seruan untuk penyelidikan independen atas penggunaan kekuatan dan praktik penahanan yang diduga sewenang-wenang.
Kritik internasional tidak kalah keras, lembaga HAM menuntut agar hak berkumpul dan kebebasan berekspresi tidak direduksi menjadi dalih keamanan semata.
Dampak politik terjemahkan cepat ke ranah ekonomi. Pasar merespons eskalasi dengan menjual aset berisiko berupa indeks saham regional tertekan dan rupiah melemah saat ketegangan memuncak, sinyal bahwa investor memandang ketidakstabilan politik sebagai risiko nyata terhadap prospek ekonomi jangka pendek.
Ketika politik menggerus sentimen pasar, imbasnya langsung terasa di kantong masyarakat kecil berupa inflasi, ketidakpastian pekerjaan dan tekanan biaya hidup yang sudah menjadi bahan bakar keresahan.
Di lapangan wacana, medan pertempuran adalah media sosial dari ajakan aksi yang asli sampai narasi terkoordinasi yang mengubah tuntutan menjadi slogan-slogan radikal.
Platform digital memperbesar polarisasi dan memperpendek jarak antara provokasi dan kerusuhan.
Analisis tentang fenomena ini mengingatkan kita bahwa gerakan massa saat ini jarang monolitik, ia adalah campuran aktivisme sipil, aksi spontan kaum marjinal, aktor politik yang ingin memanfaatkan momentum, dan kadang kelompok yang sengaja mengobarkan ketegangan.
Tanpa investigasi menyeluruh, negara cenderung mengeneralisasi dan menghukum massa, bukan mencari akar penyebab.
Mengapa istilah “Stockholm Syndrome” muncul untuk mendeskripsikan perilaku pemimpin? Dalam literatur psikologi istilah ini problematik sebagai diagnosis klinis, bukan kategori resmi yang mudah dipindahkan ke ranah politik, tetapi sebagai istilah efektif: menggambarkan situasi di mana penguasa tampak mempertahankan atau berkolusi dengan struktur yang selama ini merugikan rakyat.
Kajian akademik merekomendasikan kehati-hatian, jangan sekadar menukar istilah klinis menjadi tuduhan politik tanpa dasar empiris, namun, ketika perilaku kebijakan konsisten mengafirmasi status quo yang merugikan mayoritas, pertanyaan tentang capture institusi yang “ditangkap” kepentingan elit menjadi sah dan mendesak.
Apa yang mesti dilakukan sekarang, selain retorika tajam dan kecaman moral?
Pertama, negara wajib membuka ruang penyelidikan independen tentang fakta tentang kematian, dugaan penyalahgunaan kekuatan, dan pola penahanan massal harus diungkap tanpa pilih kasih.
Kedua, transparansi anggaran dan mekanisme audit atas tunjangan dan fasilitas politik harus dipercepat, wajar jika publik menuntut akuntabilitas ketika pemotongan anggaran daerah dan tekanan ekonomi menimpa rakyat.
Ketiga, aparat penegak hukum harus direformasi agar kepolisian dan lembaga terkait bertanggung jawab secara profesional, bukan instrumen politik untuk membungkam perbedaan.
Keempat, mitigasi terhadap disinformasi perlu didesain sambil menjaga kebebasan berekspresi demi keseimbangan yang sulit namun krusial.
Menuntut pertanggungjawaban bukan berarti memicu anarki. Jalan konstitusional adalah hak interpelasi, panitia khusus, penyelidikan legislatif, gugatan hukum, dan pemilihan umum yang merupakan instrumen yang mempertebal legitimasi perubahan.
Sementara itu, gerakan sipil harus memfokuskan tekanan pada bukti, kebijakan, dan tuntutan terukur, bukannya menyeru kekerasan, mereka mesti menghadirkan data, saksi, dan alat hukum yang memaksa institusi bertindak.
Akhirnya, jika pemimpin terus memilih melindungi struktur yang memperpetuasi ketidakadilan, istilah “Stockholm syndrome di istana” akan menjadi lebih dari metafora sarkastik yang menjadi catatan sejarah yang menuduh bahwa pemimpin yang tak sanggup melepaskan diri dari kepentingan lama, sementara rakyat menanggung beban.
Demokrasi butuh tubuh institusional yang sehat, ketika institusi itu sakit dan dipelihara, yang dirugikan bukan hanya hari ini, melainkan masa depan republik ini.



